Jalan tiga bulan sudah, Sengkuni sepi order untuk melakukan demonstrasi di jalanan. Sementara massa yang ada di sekitarnya kerap meminta jatah darinya, meski cuma sedikit. Sengkuni tentu tidak bisa mengabulkan permintaan itu. Dari mana uang untuk penuhi kebutuhan sedikit  mereka. Dari yang ada, ia sendiri saja peroleh bantuan sembako dari pemerintah. Pemerintah, yang selama ini sering ia jadikan sasaran demonstrasinya.
Sebagai kordinator wilayah kantong massa bayaran di tempatnya tinggal, memang kerap diminta untuk aktif merespon isu terkini. Isu yang bersifat lokal maupun nasional sudah jadi perhatian yang serius baginya. Tak heran bila  berita di tv, radio, koran, majalah, media online, bahkan media sosial menjadi santapan hariannya.
Dan, Sengkuni bisa tau persis jika muatan isu yang jadi perhatian masyarakat bakal segera terealisasi pekerjaannya ini. Terlebih jika isu dari kebijakan suatu institus pemerintah itu telah mengganggu dan merugikan para pihak yang memiliki kepentingan.
Namun gara-gara wabah covid, praktis tiga bulan ini ia hanya makan uang tabungan yang tidak seberapa itu. Padahal lima anak dan satu istrinya ini sudah kewalahan, meski jatah bantuan sembako diterima juga. Karenannya ia kerap menghubungi seorang aktivis untuk meminta perhatiannya.
"Bro, tolong dibantulah abang ini. Payah ini tiga bulan sepi order,"rengeknya suatu ketika lewat Hp.
"Kalau abang sepi, di sini jugalah. Sabar saja bang, Tuhan mendengar jeritan kaum marginal seperti abang,"balasnya sembari menahan tawa.
"Abang bisa sabar. Anak bini sudah tidak tahan ini. Kasihan mereka, tidak bisa dapet gizi maksimal. Bantulah!"
"Coba nanti saya kontak temen-temen seperjuangan. Barangkali mereka masih punya gizi sisa yang lalu. Tapi jangan berharap juga, bang. Abang masih bisa cari order di tempat lain."
"Mana ada order demo sekarang. Yang ada semua tiarap. Semoga cepat berlalu wabah jahanam ini."
"Iya betul, bang. Semoga saja, dan order kembali seperti dulu. Ini sudah dibatalkan beberapa agenda yang masuk. Kayaknya tidak bisa diteruskan, sudah lewat isunya."
Sengkuni berharap tapi juga tidak dapat. Mau tidak mau ia mencari jalan untuk tetap bisa memenuhi keinginan anak bininya itu. Salah satunya ia jual juga hp itu saking butuhnya. Ia karenanya selama beberapa hari itu dengan sepeda motor mulai mencari order di jalanan. Ia keliling mencari penumpang, tidak mangkal sebagaimana ojek pengkolan biasa. Gengsi!
Setiap ada orang berdiri, mau laki atau perempuan, ia hentikan motornya. "Ojek, ojek." Terus seperti itu. Hingga ia jumpai juga penumpang perempuan muda yang tengah berdiri di depan apotik,samping ATM sebuah bank, dan ia lalu menawarkan jasanya.
Kelihatannya perempuan ini telah berulangkali order lewat aplikasinya namun dibatalkan terus. Dan, ketika Sengkuni datang menawarkan, langsung disambutnya. Perempuan ini menyebut arah dan nama jalan, Sengkuni langsung menyebut harga. Tapi ditolak, sebab terlalu mahal. Dengan ojek online tidak sebagaimana yang ditawarkan. Akhirnya ketimbang kosong, Sengkuni mau juga. Jadilah perempuan ini menumpak ojek Sengkuni.
Motor kemudian melaju dengan cepat hingga beberapa meter dari lokasi tujuan tampak jalan mulai terhambat. Sengkuni coba kepot kanan kepot kiri menerobos. Ia terperanjat sebab di lokasi tujuan depan gedung DPR/MPR itu sedang berlangsung demonstrasi. Ada cukup massa yang melimpah ruah, dan menutupi sebagian bahu jalan.
Perempuan itu menghentikan laju motornya, dan turun menuju kerumunan massa usai membayar tumpangan Sengkuni. Mata Sengkuni tengok kanan kiri melihat kerumunan massa yang ada di seputaran gedung ini. Dari kejauhan ia melihat seorang aktivis yang dikenalnya sedang orasi, meraung-raung tidak karuan dengan microphone yang dilengkapi sound system di mobil komando.
Ia perhatikan juga, terdapat massa di bawah kordinasinya di wilayah yang selama ini jadi markas orderannya. Mereka seperti biasa angkat tinju kiri kanan, bentangkan spanduk, serta aksi teatrikal sesuai keinginan pemohon, atau Bandar atau orang yang order. Â Semakin bayaran tinggi semakin membabi buta pula tingkahnya.
Biasa mereka melakukan demikian jika harga cocok dan sesuai, maka mereka diminta untuk mengundang perhatian wartawan agar aksinya jadi bahan berita, misalnya aksi yang sifatnya provokatif dengan membakar ban atau apa saja.
Dan Sengkuni melihat itu semua hingga selesai. Cuma dua jam saja aksi massa tersebut. Rupanya order singkat. Terhitung  puluhan juta, bukan ratusan juta. Sementara massa masing-masing kembali pulang dengan jalan kaki, menuju bus-bus kecil yang sudah disediakan tidak jauh dari lokasi itu.
Ia juga melihat perempuan yang tadi menumpang motornya, membagi amplop kecil pada massa yang selama ini di bawah kordinasinya. Ia pun mendekati, dan bertanya pada perempuan ini.
"Lho mbak tau dari mana massa saya ini?"
"Saya tanya sana sini. Sebab kontak abang berulangkali mati. Kata aktivis itu, massa abang tidak ada yang ngurus. Ya sudah saya temui saja untuk demo ini."
"Aduh, saya jual hpnya. Dan itu mereka bukan gak ada yang ngurus. Saya ngojek soalnya mbak. Kalau nunggu orderan demo terus ya susah kami makan."
"Makanya kalau jadi kordinator harus konsisten. Massa tetap dijaga dan dijamin semampunya. Bayaran mereka pul itu. Tidak ada alasan potongan macam-macam."
Sengkuni tidak bisa mengelak lagi. Sebab soal potongan memang sering ia lakukan. Terlebih massa di bawah kordinasinya juga mulai menurun tingkat kepercayaannya. Karenanya beberapa orang massa yang ia kenal menertawainya dari kejauhan meninggalkan Sengkuni di tepi jalan sendirian. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H