Siang itu cahaya tidak terik cendrung redup. Para ibu di pemukiman padat itu juga sudah mulai mengangkat jemuran, kuatir hujan. Mereka mengeluh segala cucian tidak benar-benar kering, hanya lembab saja. Itu artinya di ruang tamu rumah akan berjejer cucian yang dijemur dengan menggunakan seutas tali plastik. Termasuk di rumah keluarga Anwar.
Rumah kontrakan sepetak itu dihuni delapan orang. Dua anak, dua mantu, dua cucu, ia sendiri dan Oca, istrinya. Jadi tidak heran jika tiap hari selalu saja ada adu mulut. Perkaranya bisa macam-macam. Namun yang sering biasanya soal tagihan tukang kredit. Bukan kredit panci, atau blender, atau sprey yang sekarang ini. Tapi kulkas dua pintu. Semuanya sepakat mengeredit kulkas atas usulan Oca. Sebab tetangganya yang sebelah dari Tegal sudah lebih dulu membeli kulkas secara kontan untuk membuat es, dan dijualnya keliling.
Kata Oca ketika itu, dua mantu Rp200 ribu urunan, dan Anwar Rp100 ribu. Jadi sebulan Rp300 ribu untuk harga kredit selama satu tahun. Selama tujuh bulan urusan pembayaran lancar.Tapi masuk bulan ke-8 sudah mulai susah ditagih tukang kredit. Karena uang dari para mantu,dan suaminya khusus untuk cicilan itu malah digunakan Oca untuk beli kebutuhan sembako tambahan, bukan untuk membayar cicilan kulkas.
Seiring itu mang Ole sudah tiga kali datang untuk menagih. Dari tiga kali itu ia hanya dapat janji dari Oca supaya datang besok lagi. Karena besok melulu, dan ini sudah tiga kali dan tiga hari berturut-turut, maka mang Ole memberikan  waktu pasti untuk pembayaran barangnya, yakni satu minggu harus sudah selesai untuk cicilan bulan ke-8 ini.
"Atuh ceu kalo belum beres cicilan ke-8 ini nanti malah repot. Bisa double bayarnya, kan kasihan jadi berat si eceu-nya." Kata  mang Ole mengingatkan seraya minta kepastian agar dibayar nanti satu minggu dari sekarang.
"Tenang aja mang, kayak gak tau gue aje. Pan sering gw ambil kreditan lain. Ini kan masih banyak keperluan yang mesti diduluin. Emang gak perlu makan apa kita di sini. Udah beres, tenang aja, seminggu lagi gue bayar!" Balas Oca sekenanya.
Tukang kredit itu tidak mau berlama-lama dengar Oca bicara. Baginya cuma cicilan kredit barangnya yang  jadi prioritas. Masalahnya ko Yan, juga sudah kasih waktu 10 hari buatnya supaya bayar cicilan kulkas milik tokonya.Â
Mang Ole harus tegas kelak untuk menagih Oca supaya tidak dibilang "kulang ajal" sama ko Yan. Kendati sering dibilang begitu, Ole tetap saja ambil barang di tokonya. Karena Mey mey, mantunya ko Yan naksir dengan Mang Ole, asli Cipanas yang mirip wajahnya dengan mantan Walikota Bandung dulu itu.
Kata Mey mey suatu ketika, "Ole elu boleh ambil balang apa aja yang lu mau. Yang penting nulut sama Babah. Itu aja sih kata gue mah. Lu gak usah pikilin bayalnya gimana, kan gue masih di sini."
Wajar Mey mey ada hati dengan Ole sebab suaminya sudah satu tahun jalan belum kembali dari Korea Utara untuk keperluan belajar nuklir di sana. Itu ko Yan yang memberitahu Mey mey tempo hari.
"Nuklir apaan babah. Apa sejenis panci dari baja, bukan bahan seng lagi?" Tanyanya ketika itu penasaran sembari menekan lidahnya supaya bisa menyebut NUKLIR, bukan nuklil.
"Ah lu tau apa. Sudah sana bikin bak pao. Gue lapal nih!"
******
Sementara itu usai kedatangan tukang kredit, di rumah, Anwar malamnya mengumpulkan semua mantunya, laki-laki, Sophar dan Nato. Sophar dari Pariaman, dan Nato dari Purwokerto. Dua-duanya kompak menjadi sales perabotan rumah tangga dari super market yang super dan ternama. Anwar bilang pada mereka, atas laporan istrinya Oca, cicilan kredit untuk bulan ini belum bisa dibayar sebab uangnya juga digunakan untuk makan semua sehari-hari. Mereka diminta pengertiannya untuk urunan kembali.
Sophar cuma diam, mendengarkan sambil korek-korek kupingnya yang sebelah kanan dengan pentol korek api. Di sebelahnya, Nato coba menjelaskan sembari puter-puter topi Bareta ungunya yang sudah kusam. Dia bilang, kalau untuk urunan lagi dirinya siap saja. Asal urunan buat bulan berikutnya dibebaskan. Sebab anaknya perlu peningkatan gizi di bulan depan.
"Begitu istri saya bilang, pak. Katanya ada tanda-tanda kurang gizi kronis. Pantas saja rewel terus. Itu juga pas hadir ditimbang di pos RW, kemarin dibilanginnya,"ungkap Nato lesu. Anwar diam menghela nafas. Dia sedang mempertimbangkan soal nasib cucunya ini. Matanya kemudian dialihkan ke Sophar.
"Elu gimana Sop?Tanya Anwar.
"Gimana, gimana maksudnya, pak?Balik Sophar bertanya seraya melemparkan pentol koreknya ke luar pintu.
"Jangan belagak budeg lu. Ini gue lagi minta pendapat. Si Nato udah kasih pendapatannya. Sekarang giliran elu. Mau urunan apa kagak?
"Udah jelas kagak lah, pak. Saya ini ketat kalo urusan uang. Supaya bini saya dan anak, ya itukan anak bapak dan cucu. Sehat wal afiat. Gak kayak anaknya si Nato, gitu. Lagian udah urunan kemarin kenapa mesti dipake sih. Mikir aja sedikit, udah tau gak gablek  eh malah shoping,"katanya.
Anwar  sudah dengar alasan kedua mantunya. Kemudian dipanggilnya Oca yang sedang rebus singkong pemberian tetangganya yang orang Tegal itu, dibantu kedua anaknya. Ia bergegas ke ruang tamu, dan duduk di sisi sebelah kiri Sophar, samping kanan Anwar mendengarkan.
Kata Anwar padanya,"Elu inget ye, masih tujuh hari lagi waktu untuk ngelunasin cicilan si Ole. Dari tujuh hari itu jangan lu ganggu, uang yang sudah ada. Biarin deh yang sudah kepake, mudah-mudahan ada rezeki yang ketangkep nanti. Inget ye!"
Oca diam seraya menganggukkan kepala, tanda setuju. Sebab ia kuatir kalau ikut bicara malah ruwet urusannya dengan suaminya yang ringan tangan ini. Â Cuma ia sempat bertanya juga, apakah kedua mantunya itu sudah siapkan uangnya buat bayar. Anwar bilang, mereka juga sedang ada keperluan, jadi tidak bisa urunan untuk sekarang.
"Kalo orang susah hidupnya ya begini. Ke sini mentok ke sono apalagi. Sementok-mentoknya ini urusan, pas si Ole datang nanti  guyur aje pake air  comberan. Udah tau orang susah pake ditawarin kulkas segala. Elu sih punya mau gak kira-kira,"kata Anwar pada Oca kesal, sekalian bilang singkong rebusnya dibawa segera.
Sembari makan singkong rebus yang setengah matang, karena gas untuk masaknya sudah terlanjur habis, ia berpikir keras. Kalau dihitung upah hariannya untuk nalangi cicilan artinya sama juga dengan mantunya si Nato. Bisa dibayar tapi resikonya tidak bisa utuh lagi uang yang dibawa pulang. Sementara Sophar sudah tidak bisa lagi diandalkan, sebab wataknya memang begitu. "Ah moga aja ada rezeki yang datang," bisik bathinnya.
Hari terus berjalan. Sudah masuk hari ke-6 dari janji Oca pada mang Ole. Belum juga kelihatan sejumlah Rp300 ribu itu. Oca dan kedua anak perempuannya, Yuni dan Endah sore Sabtu jelang maghrib itu sudah pasrah. Paling tidak jika cicilan bulan ini tidak terbayar, maka bulan berikutnya harus Rp600 ribu disiapkan. Mereka berpikir sama. Namun di tengah ruwetnya pikiran itu, muncul kawan karib suaminya Anwar, yakni Cecep. Ia jalan tergopoh-gopoh terlihat dari jarak delapan meter arah masuk ke mulut gang, sendirian.
Setibanya ia tanya, "apakah Anwar sudah datang?" Dijawab mereka belum.
"Tunggu aja, bang. Paling pas azan baru sampe. Biasanya sih begitu," Timpal Oca lagi.
Ditunggu hingga usai azan  Anwar belum muncul juga. Cecep kemudian pamit sembari bilang supaya Anwar datang ke restoran di jalan Cempaka Biru, setengah delapan sudah sampai di sana.
"Jangan lewat dari jam itu ya,"tambah Cecep memastikan.
"Wuih restoran?Diajak makan ye bang?Kok kita gak sekalian diajak sih?"
"Ya gak enaklah sama yang ngajak. Ini kan temen kita yang udah tajir yang minta kita suruh datang."
"Acara apaan bang?"
"Reuni, kumpul-kumpul aja. Cuma berlima kok," jawab Cecep seraya menyebutkan tiga nama lain dan meminta Oca untuk mengingatkan suaminya, kemudian ia pamit menuju restoran itu.
Satu jam kemudian Anwar tiba di rumah, lesu. Bayarannya untuk hari ini ditunda oleh mandornya sampai dua hari mendatang. Itu artinya ia tidak bawa uang sama sekali untuk hari ini ke rumah. Di rumah, Oca mengabarkan ia disuruh Cecep untuk datang ke restoran, sembari menyebutkan alamatnya, dan juga nama teman lainnya. Â Anwar terlihat semangat dan antusias begitu nama-nama itu disebutkan.
"Ini baru rezeki," katanya pada Oca.
Tidak berlama-lama lagi, Ia segera meluncur ke alamat yang diberikan. Benar saja di sana sudah berkumpul empat orang karibnya. Ia melangkah cepat ke arah meja di mana mereka berada. Saling sapa dan jabat tangan erat pun mereka lakukan. Omongan ngalor ngidul ditunaikan. Makanan yang jarang ditemui di rumah dilahapnya. Malah tanpa sungkan ia minta pada karibnya Haji Kule untuk supaya dibungkus makanan ini untuk  di rumah.
"Le, gue minta bungkusin ini makanan ye, buat bini, anak, sama cucu gue. Mantu sih gak usah," pinta Anwar .
"Lu bungkus, bang. Itu juga yang laen sekalian dibungkus ye. Asik aje," balasnya cepat.
Cuma dua jam mereka semua berada di restoran itu. Rasanya waktu begitu cepat untuk kumpul-kumpul kecil semacam ini. Tiada batas di antara mereka yang dulu sebagai sahabat karib masa di sekolah.Â
Meski sudah mulai tua, namun persahabatan tak susut oleh usia. Karena sangat karibnya mereka, yang mampu tak segan untuk sekadar memberikan uang jajan pada teman yang dirasa perlu dibantu. Cecep, Anwar dan dua teman lainnya pun mendulang itu. Rp400 ribu masing-masing lumayan besar mereka kantongi, seraya Haji Kule bilang untuk saling mendoakan supaya sehat semua. Mereka pun mengamini,sekaligus menuntaskan reuni kecil ini.
Mereka pun berpamitan satu sama lain. Hanya Anwar dan Cecep yang sengaja tetap berada di meja makan itu. Sementara tiga sahabat lainnya sudah meninggalkan tempat.
Kata Anwar pada Cecep, "lu kenape gak bareng pulang sama anak-anak itu?"
"Nah, lu sendiri ngapaian belakangan?"
"Kagak, gue terus terang sama lu ye, ini kok ada duit seratus rebu ada di nampan gini. Â Buat siape?"
"Hehehe, itu juga gue lagi ancem. Itu uang tip dari si Kule buat pelayan sini."
"Ah gila! Cepekceng," seloroh Anwar sembari merebut uang itu sebelum diambil rekannya Cecep, dan menukarnya dengan Rp5000.
"Ini baru pas. Goceng!" Kata Anwar terkekeh yang juga disambut gelak Cecep meninggalkan restoran itu cepat. Anwar pun senang akhirnya sebab cicilan kreditnya sudah pasti bisa dibayar esoknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H