Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rezeki Dadakan!

12 September 2019   15:53 Diperbarui: 12 September 2019   18:27 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oca diam seraya menganggukkan kepala, tanda setuju. Sebab ia kuatir kalau ikut bicara malah ruwet urusannya dengan suaminya yang ringan tangan ini.  Cuma ia sempat bertanya juga, apakah kedua mantunya itu sudah siapkan uangnya buat bayar. Anwar bilang, mereka juga sedang ada keperluan, jadi tidak bisa urunan untuk sekarang.

"Kalo orang susah hidupnya ya begini. Ke sini mentok ke sono apalagi. Sementok-mentoknya ini urusan, pas si Ole datang nanti  guyur aje pake air  comberan. Udah tau orang susah pake ditawarin kulkas segala. Elu sih punya mau gak kira-kira,"kata Anwar pada Oca kesal, sekalian bilang singkong rebusnya dibawa segera.

Sembari makan singkong rebus yang setengah matang, karena gas untuk masaknya sudah terlanjur habis, ia berpikir keras. Kalau dihitung upah hariannya untuk nalangi cicilan artinya sama juga dengan mantunya si Nato. Bisa dibayar tapi resikonya tidak bisa utuh lagi uang yang dibawa pulang. Sementara Sophar sudah tidak bisa lagi diandalkan, sebab wataknya memang begitu. "Ah moga aja ada rezeki yang datang," bisik bathinnya.

Hari terus berjalan. Sudah masuk hari ke-6 dari janji Oca pada mang Ole. Belum juga kelihatan sejumlah Rp300 ribu itu. Oca dan kedua anak perempuannya, Yuni dan Endah sore Sabtu jelang maghrib itu sudah pasrah. Paling tidak jika cicilan bulan ini tidak terbayar, maka bulan berikutnya harus Rp600 ribu disiapkan. Mereka berpikir sama. Namun di tengah ruwetnya pikiran itu, muncul kawan karib suaminya Anwar, yakni Cecep. Ia jalan tergopoh-gopoh terlihat dari jarak delapan meter arah masuk ke mulut gang, sendirian.

Setibanya ia tanya, "apakah Anwar sudah datang?" Dijawab mereka belum.

"Tunggu aja, bang. Paling pas azan baru sampe. Biasanya sih begitu," Timpal Oca lagi.

Ditunggu hingga usai azan  Anwar belum muncul juga. Cecep kemudian pamit sembari bilang supaya Anwar datang ke restoran di jalan Cempaka Biru, setengah delapan sudah sampai di sana.

"Jangan lewat dari jam itu ya,"tambah Cecep memastikan.

"Wuih restoran?Diajak makan ye bang?Kok kita gak sekalian diajak sih?"

"Ya gak enaklah sama yang ngajak. Ini kan temen kita yang udah tajir yang minta kita suruh datang."

"Acara apaan bang?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun