Jam lima subuh, di pagi yang mendung. Handphone berdering lebih dari tiga kali. Dengan tenang aku meraihnya. Dalam layar kecil, kulihat sepenggal nama. Subhanakallohumaghfirlana, seorang shahabah.
"Alaikumsalam...," jawabku mengikuti pertanyaannya di sana.
Ya, ia sahabat saya. Alhamdulillah, Allah Swt mempertemukan kami di sebuah kajian Salafy, beberapa waktu silam. Dari pertemuan itu, silaturahmi kita terus berlanjut dan terjaga.
Usai bertanya soal kondisi keluarga dan pribadi, kita berbicara tentang nikmat dan rahmat yang Allah limpahkan pagi kemarin dan pagi ini. Obrolan santun yang seru, meski cenderung tak memiliki ritme naik turun dan tak ada gelak tawa.
"Begitu indahnya Allah menitipkan dan mengamanahkan kepada kita anak-anak yang lucu, cerdas, dan insya Allah sholeh dan sholehah. Suhanalloh. Indah nian rahmat ini. Bagaimana menurut antum?"
"Fabbi ayyi ala'i rabbikuma tukadzibaan? Apakah pantas kita mendustakan nikmat dan rahmat Allah, ketika sudah turun keterangan dan kebenaran itu, wahai saudaraku?" jawabku.
"Fabbi ayyi ala'i rabbikuma tukadzibaan? Kalimat itu diulang berkali-kali oleh Allah di dalam dan sepanjang isi surah Ar Rohman. Ya, ya. Antum benar. Allah hanya ingin menegaskan dan menguatkan hati kita lewat kalimat itu," katanya.
"Kebenaran hanya milik Allah, wahai shohabah," jelasku.
"Untuk itu, perlu sekali kita membimbing anak-anak kita dengan fokus, istiqomah dan benar. Semua harus sesuai tuntunan Al Quran dan As Sunnah. Membentak, menolaknya diajak bersandiwara atau menolaknya diajak bermain bisa melukai perasaannya. Sikap orangtua adalah tanaman, dan suatu ketika akan berbuah di ladang bernama anak. Bagaimana menurut antum?"
Aku gemetar mendengarnya. Jantungku seperti pintu yang digedor paksa dengan sebongkah balok kayu. Pastinya, aku terkejut. Kulit jidat kontan mengerenyit, mata menyipit dan otak langsung bekerja memikirkan tentang pertanyaan yang mengandung maksud tertentu. Ini sebuah teknik sapaan yang sangat santun. Cenderung halus dan lembut. Ini gaya umum para shahabah salafy saat bertanya tentang sesuatu hal. Biasanya, ia akan mengiaskan atau mengasosiasikan dengan kisah-kisah teladan para salafus sholeh terlebih dahulu, baru agak sedikit mengerucut ke tujuan.
Ow, aku langsung teringat. Insya Alloh, ini pasti gara-gara cerpen itu. Cerpen yang aku buat sekitar dua hari lalu di sebuah jejaring sosial. Yang aku pun baru ketahui cara mengoperasikan media sosial tersebut beberapa minggu lalu. Hai pembaca, apakah engkau masih ingat dengan cerpen itu? Cerpen yang melukiskan sikap seorang ayah kepada kedua anaknya. Seorang ayah yang arogan, tempramental dan cenderung kasar terhadap anak-anaknya. Seorang ayah yang lebih mementingkan urusan duniawi dibanding membangun akhlakul kharimah pada kedua buah hatinya.