Mohon tunggu...
Ersyah NurAfriliana
Ersyah NurAfriliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang

Maniac kimia yang ingin namanya dimuat di artikel jurnal

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dinamika Permasalahan Lingkungan di Kabupaten Lamongan sebagai Kabupaten Peraih Dua Penghargaan Bergengsi

21 Mei 2024   12:35 Diperbarui: 21 Mei 2024   12:44 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Permasalahan mengenai lingkungan hampir terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Permasalahan yang marak menjadi perbincangan hingga saat ini adalah mengenai isu pemanasan global (global warming). Bahkan, kini isu tersebut kian meningkat setelah diketahui bahwa suhu udara permukaan rata-rata per Juni 2023 lebih dari 1,5 derajat celsius dimana merupakan batas paling ambisius pemanasan global dalam Perjanjian Paris 2015 (Kompas, 2023). Suhu tersebut dapat menimbulkan dampak perubahan iklim yang parah, yaitu kekeringan, gelombang panas, serta curah hujan yang sering dan parah. Suhu yang meningkat ini disebabkan oleh berbagai macam aktivitas manusia, seperti penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, hingga pembakaran sampah di tempat terbuka. Aktivitas tersebut tentunya juga akan meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Emisi gas rumah kaca diperkirakan akan terus meningkat dari 2021 sampai 2030. Pernyataan ini didukung oleh data yang dikemukakan oleh Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menyatakan emisi gas rumah kaca nasional sebesar 259,1 juta ton pada 2021 dan diproyeksikan meningkat 29,13% pada 2030, yakni mencapai 334,6 juta ton (Data Indonesia, 2022). Hal tersebut tentunya menimbulkan berbagai dampak yang dapat merugikan manusia. Permasalahan tersebut, kian meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Semua orang membutuhkan energi, tanah, juga sumber daya yang besar untuk mempertahankan hidupnya. Segala macam aktivitas yang dilakukan manusia untuk mempertahankan hidupnya tentu dapat menimbulkan sampah dengan berbagai cara dan ini turut mempengaruhi lingkungan sekitar. Hal ini juga berlaku bagi Kabupaten Lamongan.

Kabupaten Lamongan merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Lamongan telah memperoleh penghargaan Anugerah Adipura Kencana, yakni kabupaten/kota yang mampu menunjukkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup yang inovatif dan berkelanjutan (KemenLHK, 2023). Penghargaan tersebut diraih pada tahun 2011, 2013, dan 2014 (Niluh & Arimurti, 2023). Selain itu, Kabupaten Lamongan juga meraih penghargaan Adipura Kirana, yakni kota/kabupaten yang mampu menjadikan trade, tourism, and investment berbasis pengelolaan lingkungan hidup (attractive city) sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (Niluh & Arimurti, 2023). Meskipun telah meraih dua penghargaan bergengsi, lantas tidak menjadikan Kabupaten Lamongan mampu mengatasi pengolahan sampah dengan bijak. Apalagi dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi melebihi kapasitas regenerasi lingkungan yang mana menyebabkan kualitas hidup penduduknya semakin berkurang (Kompasiana. 2022). Hal ini pun turut diperparah dengan perlakuan penduduk terhadap sampah. 

Produksi sampah yang ada di Lamongan sendiri mencapai 228,06 ton per harinya dan 83.240,85 ton per tahun (SIPSN, 2022). Umumnya masyarakat membuang sampah ke sungai yang mengakibatkan air sungai menjadi tercemar sehingga memengaruhi keteserdiaan air di lingkungan. Selain itu, sampah tersebut juga menimbulkan bau tidak sedap karena aktivitas penguraian sampah oleh mikroorganisme yang lambat menghasilkan senyawa kimia yang berbau. Senyawa tersebut antara lain, hidrogen sulfida (H2­S) yang berbau seperti telur busuk, trimetilalamin (N[CH3]3) yang berbau amis, asam propanoat (CH3CH2COOH) yang berbau tengik, asam butanoat yang berbau tajam serta menyengat (CH3CH2CH2COOH), dan lain sebagainya. Selanjutnya, penduduk juga seringkali membakar sampah yang mana menyebabkan pencemaran udara. Asap hasil pembakaran dapat menghasilkan gas-gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), dinitrogen oksida (N2O), ­nitrogen dioksida (NO2­), dan amonia (NH3). Gas-gas tersebut tentunya berbahaya bagi lingkungan ketika melebihi ambang batas. Seringkali juga juga ditemukan sampah yang berserakan di lingkungan luar. Hal ini dapat memicu berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri, seperti salmonellosis, shigellosis (infeksi yang menyerang saluran pencernaan), keracunan makanan stafilokokus, infeksi kulit, tetanus, dan trachoma (infeksi pada mata). Selain bakteri, juga memicu berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus, contohnya hepatitis A, gastroenteritis (infeksi usus), dan lain sebagainya. Umumnya penyakit-penyakit tersebut dikarenakan oleh makanan atau air yang terkontaminasi.

Oleh karena berbagai permasalahan di atas yang tidak hanya terjadi di Lamongan saja, pemerintah Indonesia telah mencanangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang disebut SDGs (Sustainable Development Goals) menggantikan MDGs (Millenium Development Goals). SDGs memuat 17 tujuan yang dalam pencapaiannya melibatkan seluruh elemen pembangunan, baik pemerintah, sektor swasta, akademisi, hingga masyarakat. Dari 17 tujuan tersebut terdapat tujuan mengenai pembangunan kota dan pemukiman yang berkelanjutan, yakni terdapat dalam tujuan 11 dengan 7 indikator. Salah satu dari indikator tersebut adalah mengurangi dampak lingkungan yang merugikan dengan memperhatikan kualitas udara dan juga penanganan terhadap sampah (Bappenas, n.d). Dengan adanya tujuan ini, pemerintah Kabupaten Lamongan juga mengupayakan sejumlah solusi untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada di Lamongan. Solusi tersebut adalah dengan pengimplementasian Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2016 mengenai pengelolaan sampah melalui pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). TPST tersebut mampu menampung 50 Ton sampah per harinya dan juga mempunyai sarana prasarana yang lengkap berbasis teknologi berstandar internasional (Verra) yang terintegrasi (Niluh & Arimurti, 2023). Dalam penerapannya, juga melibatkan stakeholder berupa pemerintah, swasta, juga masyarakat. Oleh karenanya, juga mencirikan adanya collaborative governance.

Berbagai permasalahan yang ada, tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab para pemangku jabatan, tetapi juga kita sebagai generasi muda yang sepatutnya turut berkontribusi terhadap solusi permasalahan tersebut. Sebisa mungkin lakukan pembiasaan-pembiasaan yang berdampak positif bagi lingkungan. Jangan malah melakukan perbuatan yang dapat memicu rusaknya lingkungan. Jadilah generasi muda yang bijak, berwawasan luas, serta mau berkonttribusi bagi bangsa dan negara. 

Kalau bukan kita yang memulai dan melakukan, lantas siapa lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun