Pada Sabtu 3 Agustus 2019, setelah berkoordinasi dengan Pihak Polda Sulawesi Selatan, empat orang yang mengatasnamakan Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulawesi Selatan menggerebek gerai Gramedia Trans Mall. Mereka mengumpulkan kurang lebih 20 buku yang berhubungan dengan paham komunis yang dilarang di Indonesia berdasarkan Tap MPRS No 25 tahun 1966[1]. Salah satu buku yang diambil adalah tulisan dari Karl Marx. Ada semacam ketakutan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan kembalinya paham komunisme. Paham komunisme ditolak oleh bangsa Indonesia apalagi dengan tersebarnya gagasan dari Karl Marx yang tidak lain berbicara juga tentang komunisme. Mengapa? Karena bangsa Indonesia mengakui adanya satu Tuhan dan ini tercantum dalam sila pertama Pancasila yang adalah dasar negara.Â
      Selain itu, gagasan-gagasan Karl Marx dapat dikatakan bertentangan dengan ajaran agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Apalagi ketika dia berbicara tentang kehadiran agama itu seperti opium yang menawarkan kenyamanan kepada masyarakat. Pernyataan seperti ini tentu akan menimbulkan pertentangan jika dihadapkan pada lingkungan masyarakat beragama. Agama telah lama hadir dalam kehidupan manusia dan setiap orang telah merasakan betapa pentingnya agama bagi kehidupannya. Ketika dihadapkan dengan pernyataan seperti ini orang akan menolak apa yang disampaikan oleh Karl Marx. Namun, satu hal yang perlu diingat bahwa konteks zaman turut membantu lahirnya gagasan. Apakah gagasan Karl Marx benar-benar hanya untuk konteksnya waktu itu ataukah sampai saat ini juga?
      Karl Marx adalah tokoh yang sangat berpengaruh pada abad 19. Sebagai seorang filsuf, psikolog, dan sosiolog, ia merasa ‘terganggu’ dengan berbagai situasi sosial (perbedaan kelas) karena faktor ekonomi dalam masyarakat. Pemikiran Marx dan analisis ekonomi tersebut didasarkan pada pemikiran epistimologi materialisme. Gagasan epistemologi inilah yang menjadikan Marx sebagai seorang yang anti Tuhan[2]. Hal ini tentu lahir dari latar belakang keluarga dan situasi sosialnya. Kisah perpindahan agama yang terjadi pada ayahnya dari Yahudi ke Protestan padahal mereka tinggal dalam lingkungan Katolik akhirnya membuat Marx tidak memikirkan tentang agama.  Inilah yang menjadi faktor pendorong Marx melihat agama sesuatu yang tidak disukai dan bahkan disebut sebagai candu masyarakat.
      Agama adalah candu masyarakat adalah gagasan yang terkenal dari Karl Marx. Agama itu seperti ‘opium’ yang mana adalah sejenis narkotika yang menimbulkan fantasi. Fantasi inilah yang membuat manusia lari dari dunia riil. Manusia sebagai makluk yang emosional tentu mempunyai rasa takut akan terjadinya sesuatu yang menyakitkan selama masa hidupnya. Rasa takut dalam konteks Marx adalah ketakutan akan terjadinya penindasan dan bahkan kematian karena perbedaan kelas antara penguasa dan buruh. Dalam pandangan Marx, agar para penguasa tetap berkuasa dan para buruh dapat terus bekerja meskipun terjadinya perbedaan kelas, maka diciptakannya agama. Para penguasa melihat agama menjadi tempat yang bisa memberikan kenyamanan atau kebahagiaan kepada manusia. Bahkan agama tidak hanya menawarkan kebahagian dalam dunia tetapi juga hidup setelah kematian. Penolakan Marx ini tentu dilatarbelaknagi oleh aliran filsafat yang mempengaruhinya yakni epikurisme yang mana melihat kebahagiaan sejati hanyalah terjadi di dunia ini. Setelah kehidupan di dunia ini berakhir, tidak ada lagi kehidupan lainnya. Marx sangat tidak sepakat dengan kenyataan seperti itu. Kenapa manusia hanya dapat merasakan kebahagiaan di akhirat nanti? Sementara di dunia ini ada segolongan orang yang selalu dapat merasakan kebahagiaan tersebut[3]. Gagasan ini dapat dilihat sebagai sebuah gugatan yang mendewasakan iman dan sangat mendesak untuk ditindaklanjuti.
Alasan rasional gagasan Karl Marx ‘mendewasakan’ iman
      Gagasan Karl Marx tentang agama ini dilihat sesuai dengan konteks yang terjadi dalam masyarakat. Ini boleh dikatakan sebagai sebuah kejujuran dalam beriman. Mengapa? Karena saat ini agama dijadikan sebagai tempat untuk bisa meluapkan berbagai keluh kesah dan harapan akan apa yang tidak bisa dicapai oleh manusia. Ritual yang terjadi dalam agama tidak lain adalah untuk menciptakan tempat bagi masyarakat untuk dapat berekspresi tentang perasaan mereka. Agama menjadi ‘wadah’ untuk menampung kekejaman dunia dalam hal ini ketidakadilan dalam masyarakat yang dilakukan oleh para penguasa. Salah satu faktor adalah ekonomi.
      Dasar gagasan Karl Marx juga berangkat dari perbedaan kelas atau ketidakadilan dalam hal ekonomi. Agama yang diciptakan penguasa secara tidak langsung terus memberikan penindasan kepada masyarakat. Bisa dikatakan sebagai sebuah ironi karena agama yang seharusnya memberikan ‘keselamatan’ malah menjadi penindas. Agama perlu merefleksikan masalah ini. Bagi orang yang tidak merasakan pahitnya penindasan, agama adalah alat kekuasaan yang menguntungkan. Agama dapat menjamin proses produksi dan berlangsung secara terus menerus. Bagi orang-orang tertindas, agama tidak menjanjikan perubahan apapun kecuali melanggengkan penindasan. Dengan justifikasi agama, yang kaya dapat menjadi semakin kaya dan yang miskin tetap dalam kemiskinannya[4]. Kebiasaan manusia menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari situasi dunia yang nyata, akan membuatnya teralienasi dari kehidupan. Peristiwa teralienasi disini terjadi dalam empat bagian, yakni manusia akan teralienasi dari kegiatan produktivitasnya yang mana ia bekerja bukan karena ide mereka sendiri, pekerjaan mereka adalah untuk kaum borjuis bukan untuk mereka sendiri, mereka juga teralienasi dari sesama pekerja dimana tidak ada kerja sama, dan mereka akan teralienasi dari kemampuan atau potensi mereka sebagai manusia[5]. Hal yang perlu diberi penekanan adalah manusia merasa ia tidak mempunyai potensi untuk bekerja. Manusia bisa berjuang untuk memperbaiki nasibnya dengan tidak selalu bergantung pada agama.
Usulan mendasar bagi teologi dan Gereja sebagai wujud "transformasi diri"
      Kritik Karl Marx merupakan sebuah gugatan yang tajam kepada teologi dan Gereja. Marx mengkritik tindakan yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Apa yang bisa dilakukan Gereja? Gereja perlu untuk berpihak kepada kaum miskin (option for the poor) dan memberikan pembebasan. Teologi pembebasan yang terjadi di Amerika Latin merupakan sebuah contoh gerakan bagaimana Gereja perlu bertindak. Salah satu kutipan menarik dari Gustavo Gutieress:
     "Agama Kristen telah dimanfaatkan dan masih tetap dimanfaatkan sebagai suatu ideologi yang membenarkan aturan pihak yang serba berkuasa. Kekristenan di Amerika Latin telah menjadi satu agama fungsional bagi sistem yang berlaku. Tata cara peribadatannya, lembaga-lembaga gerejanya, dan semua hasil karyanya telah memberikan sumbangan bagi penyaluran semua kekecewaan rakyat ke arah akhirat saja yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia nyata yang wujud saat ini. Oleh karena itu, ajaran Kristen harus dikembalikan ke asalnya, mendukung protes rakyat menentang sistem yang menindas dan tidak adil[6].
     Pendapat inilah yang juga dikutip oleh Gustavo Gutierres sebagai bentuk keberpihakan kepada kaum miskin. Keberpihakan Yesus kepada kaum tertindas adalah dasar untuk bertindak. Keberpihakan ini harus sampai pada titik di mana dapat memberikan kemerdekaan atau kebebasan terhadap orang miskin dan tertindas. Gereja perlu melestarikan perjuangan untuk membebaskan kaum miskin dari berbagai penindasan seperti yang dilakukan oleh Gustavo Gutierres, Uskup Oscar Romero dan beberapa tokoh Gereja lainnya.
Footnote
[1]https://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-minta-keterangan-ahli-terkait-buku-karl-marx-lenin-di-gramedia-makassar.html diakses pada 18 Oktober 2021
[2]Mansour Faqih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 5.
[3] Fachrizal A. Halim, Beragama dalam Belenggu Kapitalisme, (Magelang: Indonesiatera, 2002), 36.
[4] Fachrizal A. Halim, Beragama dalam Belenggu Kapitalisme, 37.
[5]George Ritzer, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 89-90.
[6]Michael Lowy, Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme & Marxisme Kritis, (Yogyakarta: INSIST Press, 2013), 121.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H