Mohon tunggu...
Rahmat Setiawan
Rahmat Setiawan Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya ingin hidup sekali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bandrol Sebuah Pengalaman dari Budi Darma

7 September 2013   16:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:13 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah pembicaraan yang sebenarnya sederhana, tetapi memancing sebuah pemikiran yang luas. Keluasan yang bukan menyebar, mealinkan berputar-putar seperti sebuah dinamaka alami dari manusia yang sedang berpikir.

AKu mengikuti sebuah seminar, di mana aku termasuk yang “terkecil” dalam perkumpulan manusia-manusia kelas atas ini. Pertama kali memasuki ruang, aku hanya ingin menjadi seorang pecundang, menjadi manusia yang diam, walau banyak ide yang berserakan dan berkeliaran tak tahu diri dalam pikiranku.

Jumat, begitu cepat terlewati.

Aku terlambat untuk menceritakannya.

Tapi bukan berarti sabtu bukan hal yang tidak menarik lagi untuk dikisahkan.

Pagi, pagi itu sebuah kondisi di mana siklus krebs-ku belum bekerja dengan baik. Terlebih aku belum memakan sepotong apapun. Aku memaksan diri untuk tidak telat untuk mendengarkan presentasi dari salah satu orang yang cukup mengispirasi, Budi Darma.

Aku tidak akan menyebutkan siapa dia, dia adalah manusia biasa, sama seperti kita, tetapi yang membedakannya dengan aku dan sebagian banyak orang adalah sebuah pemanfaatn waktu yang begitu istimewa dalam kehidupan ini. Tuturkata yang begitu indah, seni yang begitu sopan mengalir, dan aura yang terurai mengelilingi tiap tutur katanya.

Budi Darma, seorang manusia yang benar-benar memanfaatkan apa yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, tanpa terlewatkan, akan aku mulai mendengarkan.

Kopi, itu apa yang aku bawa dalam seminar pagi yang dingin itu. Kopi itu memancingku.

Pak Budi Darma sudah memulai, kata-kata-nya tumpah seperti secangkir kopi yang di-join. Apa yang di maksudkan adalah apa yang sulit dicerna dengan keadaan biasa, begitu berat, tetapi pemilihan kosakata, serta penataannya begitu istimewa, sehingga mengangkat hal-hal berat seolah-olah seperti sebuah debu dan kapas yang berterbangan.

“LITERATURE IN TIME TO TIME” Itu bukan kata yang tepat untuk mengulang apa yang beliau utarakan, tetapi itu yang dapat saya simpulkan. Sastra, sesuatu yang dianggap tidak begitu penting, sesuatu yang dianggap tidak pasti dan terkesan mengada-ada dan hanya dijadikan hiburan hidup, diolah oleh beliau menjadi sebuah pemahaman yang indah, jika sastra adalah sesuatu yang lebih nyata dari kenyataan yang ada di dunia. Beliau memberikan contoh jika, Sigmund Freud akan menjadi manusia lain jika dia tidak suka dengan karya-karya sastra. Karena Hamlet-lah, Freud mengeluarkan ide gila akan ketidaksadaran yang men-dekonstruksi pemahaman kuno tentang apa yang mempengaruhi manusia, itu adalah kesadaran. Karena Hamlet, semuanya berkembang, menjadi sebuah penyakit jiwa, yang begitu terkenal, Oedipus Complex. Lain contoh, beliau menceritakan jika Herman Hesse, pemenang Nobel Prize, adalah seorang pasien dari C. G. Jung, seorang yang mempunyai penyakit dalam jiwanya, tetapi memenangkan Nobel Prize. Masih benayak contih yang beliau paparkan, yang pada intinya adalah sebuah ungkapan indah, jika sastra adalah refleksi dari kehidupan. Sastra adalah sesuatu yang lebih nyata daripada sebuah kenyataan sekalipun. Sastra adalah sebuah paranoid bagi manusia yang kaku dan monoton, tentang kehidupan. Sastra adalah hal yang akan selalu hidup, dari waktu, ke waktu, tak akan mati, karena bahasa itu hidup, sedang seni adalah keindahan hidup, bukankah hidup itu indah?

Pak Budi Darma, begitu singkat dia berbicara, sedang kopi yang saya minum sudah tak tersisa. Waktu itu berhenti, waktu yang terbatas, memberhentikan pembicaraannya.

Aku tersenyum, dan aku tetap duduk walau semua sudah pergi.

International Conference Sang Guru 2

Surabaya, 7 September 2013

Ersetiawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun