"Dengar tuh, Amel! Adikmu tetap berkata baik dengan apa yang dilihatnya." ujar Bu Anna kepada Amel yang masih terkikik.
"Dia menyebut gaunnya yang cantik, yaaa, bukan orangnya yang cantik!" tegas Amel mencoba membela diri.
"Tapiii, Akmal tak pernah membalas ejekanmu, Akaaak!" sergah Bu Anna dengan gemas.
"Ini beneran Akak, Ma?" tanya Akmal tersenyum dengan lebar, "ternyata Akak kecil sama jeleknya dengan Ade ya, Ma? Kepalanya macam buah rambutan, haha, ha, ha!" seru Akmal tergelak, saat melihat hiasan rambut Amel kecil, yang tampak menyerupai buah rambutan di matanya.
Akmal tertawa senang menggoda Amel, yang sering mencela hidungnya yang mbleber* itu.
"Huuuh, senang, ya? Puas banget Ade mencela Akak?" seru Amel dengan bibir dimanyunkan.
"Biasa aja kali, Kak! Ade dikatain hidung mbleber dan jelek setiap hari ama Akak, biasa aja, tuh!" sahut Akmal sambil tersenyum dan berlari menjauh, menghindari cubitan Amel.
Sejak itu, Amel tak lagi mencela Akmal, ternyata sosoknya saat balita, begitu mirip dengan Akmal.Â
Kini rambut Amel, memang tergerai hitam legam hingga ke pinggang, dan tampak indah. Wajahnya sangat manis dengan bola mata yang besar dan dihiasi bulu mata yang lentik.
Amel memandang wajah Akmal dengan kasih. Walau dia sering mencela tanpa sadar, namun rasa sayangnya begitu besar pada sang adik.Â
Akmal sudah kehilangan figur sang ayah, saat dia lahir ke dunia. Ayah mereka tewas dalam sebuah kecelakaan. Kini Bu Anna sendirian membesarkan kedua anaknya di kota metropolitan..