Mohon tunggu...
Ersa FitriaMahardika
Ersa FitriaMahardika Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswi Sosiologi UNEJ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Inspiratif: Titik Balik dari Pengalaman Diskriminasi Penyandang Difabel

26 November 2022   06:43 Diperbarui: 26 November 2022   17:14 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyandang difabel memiliki hak yang sama dengan orang lain. Kendati demikian, diskriminasi masih sering dirasakan karena masyarakat menganggap kelompok difabel tidak bisa mandiri dan masih bergantung terhadap orang lain. Di lain sisi penyandang difabel terus berusaha bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyaknya difabel yang merasakan diskriminasi dapat menghambat proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Tak sedikit pula teman-teman difabel yang memiliki jiwa semangat tinggi dibalik kekurangan mereka. Salah satunya Ibu Ulifatul Khusna (41) atau yang akrab dipanggil Mbak Uul, yang sangat menginspirasi banyak orang melalui semangatnya. 

Mbak Uul merupakan ibu dari empat orang anak, beliau seorang difabel dengan polio di kaki kanannya sehingga membutuhkan bantuan tongkat untuk berjalan. Namun ia tidak pernah putus asa dan tetap semangat menaburkan kebahagiaan kepada orang-orang sekitarnya. Mbak Uul telah mengidap polio sejak kecil yang membuatnya merasa minder untuk bersekolah dan berinteraksi dengan banyak orang. Beliau mengaku pernah marah dengan keterbatasan yang dimiliki belum lagi keadaan keluarganya yang dapat dikatakan kurang mampu sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan di SLB ke jenjang yang lebih tinggi, hingga akhirnya membuat beliau melanjutkan di pesantren. Beliau secara terbuka juga bercerita ketika di pesantren sempat merasakan ketidaknyamanan juga dikucilkan karena kondisinya, bahkan hari-harinya selalu dilalui dengan menangis di kamar mandi. Keadaan ini dirahasiakan dari kedua orang tua beliau karena berpikir jika tidak lanjut di pesantren masa depannya tidak akan jelas. Di dalam wawancara tersebut beliau juga mengatakan bahwasanya mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan “Pernah itu pas makan bareng, sendok bekas yang saya pegang itu dilempar, najis kata mereka, Padahal itu di pesantren yang orang bilang tempat suci nyatanya pembullyan seperti ini masih ada” tutur Mbak Uul. Di lain waktu beliau bertemu dengan salah satu teman yang memberikan motivasi dan semangat untuk memanfaatkan waktunya dengan hafalan kitab dan berpuasa dengan tujuan menjernihkan hati. Dari situlah beliau mulai merasa percaya diri untuk menunjukkan kemampuan yang dimilikinya, misalnya berusaha semaksimal mungkin dalam mendapatkan nilai yang sempurna dalam ujian di sekolah sehingga orang-orang di sekitarnya percaya atas kemampuan yang dimilikinya.

Dari pengalaman Mbak Uul yang sangat inspiratif tersebut sesuai dengan teori interaksionisme simbolik Herbert Blumer dalam buku Teori Sosiologi George Ritzer, bahwa gagasan pemikiran seseorang dibentuk oleh interaksi sosial. Setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan pemikirannya terbentuk oleh adanya interaksi dengan orang lain. Dalam hal ini, interaksi sosial yang mempengaruhi pemikiran narasumber yaitu dari pengalaman bullying yang dialami kemudian membuatnya mencoba bangkit dengan merubah pola pikirnya yang tadinya terpuruk dan pasrah menjadi yakin bahwa ia bisa menjadi lebih baik dari mereka yang membully serta bisa lebih berprestasi. Dibuktikan dengan beliau mengikuti dan menjuarai lomba baca kitab dan pidato yang membuatnya dikagumi oleh banyak orang. Pengalaman yang dilalui oleh narasumber dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi karena berkaitan dengan orang lain yang dapat mendorongnya lebih berkembang. Semangatnya yang tak pernah putus pun berbuah manis. Mbak Uul mulai diterima oleh lingkungan masyarakatnya bahkan ia diberi kepercayaan oleh pesantren untuk membantu mengajar di pesantren.

Di usia 20 tahun Mbak Uul menikah dan mulai membuka usaha tempat ikan pindang dari bambu bersama suaminya. Hingga pada 2019 melalui salah seorang anggota PERPENCA yang dihubungi oleh suatu PT, Mbk Uul kemudian mendaftar untuk mengikuti tes tulis yang diadakan PT PMP (Penyelesaian Masalah Properti). Tesnya seperti tes-tes di sekolah, ada beberapa pelajaran yang diujikan. Dan pada saat itu beliau mendapat nilai terbaik sehingga diterima menjadi karyawan di PT tersebut. Saat akan bekerja pun perusahaan itu membebaskan Mbak Uul dan penyandang difabel lain untuk memilih pekerjaan sesuai kemampuan masing-masing. Beliau menambahkan bahwa perusahaan ini memperoleh penghargaan dari pusat karena mereka merekrut tenaga kerja dari penyandang difabel. Selama bekerja tidak pernah ada diskriminasi dari teman-teman kerjanya, karena menjadi keharusan bagi semua orang untuk menghargai dan memberi dukungan kepada penyandang difabel. Banyak penyandang difabel diluar sana yang masih mengalami tindakan bullying yang membuat mereka tidak dapat keluar dari rasa trauma akibat tindakan perundungan tersebut. Sehingga banyak penyandang difabel takut untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain. 

Penulis: 

1. Muhammad Robbah Baihaqi 200910302030 

2. Mohammad Feri Ferdiansyah 200910302087   

Editor : Ersa Fitria Mahardika 200910302152

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun