Ketimbang pada ayah, aku lebih suka tante dan paman yang tinggal serumah dengan kami. Mereka tinggal di lantai atas. Mereka juga orangtuaku. Saat aku lahir, kata ibu, mereka sudah ada di rumahku.
Tante ikut mengurusku dari bayi. Penuh kasih sayang. Seperti ibu, tante mengasuhku dengan lembut.
Kalau ibu dan ayahku tidak ada, tante yang memandikan aku, karena aku tidak bisa mandi sendiri. Memberiku makan. Membelaiku. Memelukku.
Usiaku empat tahun. Aku sudah bisa berjalan, bahkan berlari. Tetapi, bicaraku tak dimengerti orang. Jika hatiku meluap karena gembira, aku berteriak. Jika takut, aku berteriak. Jika marah, aku berteriak dan teriakku amat keras. Orang-orang tidak suka mendengar teriakanku, kecuali ibu dan orang di rumah.
Mau bagaimana lagi. Aku memang tidak bisa bicara jelas. Aku merasa perlu menyampaikan perasaanku, mencoba berkomunikasi. Tetapi setiap kali aku berusaha bicara, yang keluar adalah teriakan. Itu sebabnya, aku suka menari untuk membantu orang mengerti bahwa aku sedang bersuka hati. Tetapi tetap saja ada yang tidak suka. Aku tetap dianggap aneh oleh mereka.
Hanya ibu, ya ibu, yang tahu persis ekspresiku seperti apa, dengan atau tanpa menari. Tarianku adalah hadiah yang tiada habis buat ibu. Sekalipun tanpa menari, ibu paham aku gembira atau tidak.
Ibu selalu menjagaku agar tidak keluar rumah. Itu sebabnya pintu selalu ditutup. Aku tak pernah berhasil menggoyang gagang pintu buat membukanya. Kalaupun aku perlu keluar rumah, ibu pasti mendampingi.
Suatu kali aku keluar rumah tanpa ibu tahu. Aku melihat anak-anak sedang bersama ibu mereka di dekat gerobak tukang sayur. Aku menghampiri. Aku menyanyi. Menari. Tetapi, ibu-ibu mereka marah mendengar teriakanku. Aku malah balik diteriaki dan diusir. Aku sedih. Aku berteriak lagi.
Ibu gusar mendengar teriakanku dari jauh. Juga suara orang ramai. Segera ibu keluar menjemputku.
Begitu baiknya ibu. Siapa yang tak rindu?
Aku sudah bisa makan sendiri. Tapi aku suka jika disuapi. Ibu suka membelikanku macam-macam makanan yang aku suka dan menyuapiku.