Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Si Penunggu Pintu

6 Desember 2024   14:17 Diperbarui: 6 Desember 2024   21:55 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada cerita di balik setiap pintu. (Sumber: pinimg.com)

Kalau sedang di rumah, ibu pasti mengajakku ke kamarnya supaya aku tenang. Jika ibu tidak ada, aku hanya bisa duduk di salah satu sudut ruang makan yang berdekatan dengan pintu keluar di belakang, tempat ibu biasa keluar masuk untuk pergi dan pulang. Kututup  telinga. Sesekali kubuka, untuk berjaga-jaga atas kedatangan ibu.

Kami tinggal di perumahan semacam klaster yang terdiri dari sembilan blok. Tiga blok berada di tengah, tiga blok di kiri, tiga lagi di kanan.

Blok-blok di tengah masing-masing terdiri dari duabelas rumah dalam dua deret yang saling membelakangi. Enam rumah menghadap barat, enam lagi menatap timur. Blok di kiri dan kanan masing-masing hanya terdiri dari enam rumah. Yang di kiri menghadap barat, membelakangi perkantoran. Yang di kanan  menghadap timur, membelakangi Kali Ciliwung.

Jalan di perumahan relatif sempit, hanya muat dua mobil. Rumah-rumah di kompleks kami tidak luas, berdekatan, nyaris tanpa halaman. Umumnya bertingkat seperti halnya rumah kami. Dinding satu rumah dengan rumah yang lain bertemu, menempel.

Bisa dibayangkan, kalau aku berteriak, suaraku bisa terdengar sampai ke tetangga. Ibu tidak mau terjadi lagi ada tetangga yang datang ke rumah dan bertanya ini itu. Sekalipun sudah ibu jelaskan, mereka tetap tidak mau menerima penjelasan ibu.

“Terima kasih. Akan lebih kami perhatikan.” Paling begitu ibu berucap agar percakapan selekasnya berakhir.

***

Aku tak percaya kalau ibu sakit. Dulu, pernah dua minggu ibu pergi. Aku tidak tahu ibu ke mana dan kembali lagi kapan. Tapi, ibu akhirnya pulang. Membawa oleh-oleh. Jujur, aku lebih peduli pelukan ibu ketimbang oleh-oleh. Jadi, yang kulakukan sepanjang ibu pergi adalah duduk di balik pintu, siap-siap menyambut kedatangan ibu untuk masuk ke pelukannya. Setelah menyanyi dan menari, tentunya.

"Ibu pasti segera pulang," gumamku penuh harap.

Terus terang, aku lebih dekat dan merasa aman bersama ibu daripada ayah. Ayah sudah tak bekerja dan suka marah-marah. Hampir sepanjang hari di rumah. Minum kopi, asyik menggerayangi telepon genggam, nonton teve. Sesekali pergi untuk menghadiri acara-acara adat di mana dia harus hadir.

"Jangan," teriak ibu jika ayah sudah menghunuskan sapu lidi ke arahku. Misalnya saat aku berlarian dan menyenggol vas bunga hingga terjatuh. Pecah. Bersyukur, ayah langsung surut jika ibu sudah bersuara seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun