Mengapa ibu belum juga pulang? Ada apa dengan ibu? Sudah satu minggu aku tak bertemu. Ke kota mana kali ini ibuku?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergelimang di jagat lamunanku seminggu ini sementara aku duduk di balik pintu yang tertutup. Otakku mengembara ke mana-mana, melacak jawaban yang paling mungkin. Tetap saja jawaban itu tak kudapat.
Penjelasan orang-orang di rumah tak berterima di akalku. Benarkah ibu sakit? Kalaupun benar, seriuskah sakitnya? Mengapa ibu tidak meneleponku dalam panggilan bervideo seperti yang biasa dilakukannya jika bekerja atau bepergian ke luar kota? Bertelepon kan mudah. Juga penting, agar kami bisa saling menyapa.
“Tidakkah ibu rindu padaku?” pikirku. Terlebih pada Desember seperti ini. Kami biasanya mulai sibuk menghias pohon Natal, membenahi rumah, mempersiapkan kue kering, nonton film bernuansa Natal, dan sebagainya.
Aku tak percaya kalau ibu sakit. Selama ini ibu terlihat baik-baik saja. Sampai seminggu yang lalu, ibu masih bekerja dari Senin sampai Jumat. Sabtu dan Minggu libur. Pada hari-hari kerja, ibu bangun lebih awal. Pada akhir pekan, ibu bangun agak siang.
Setiap pagi, begitu bangun, ibu duduk di bibir tempat tidur dan berdoa. Persis seperti yang dilakukannya pada pagi hari seminggu yang lalu.
"Pagi bae, Molly," sapa ibu dalam ujaran Flores Timur, usai berdoa. Aku mengerti. Maksud ibu adalah "pagi baik" atau "selamat pagi".
"Pagi bae," jawabku yang kuwakilkan dengan langsung masuk ke pelukan ibu.
Ibu balas memelukku. Kemudian, mengajakku ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kadang aku berjalan sendiri, kadang digendong oleh ibu.
Aku sering tidur di kamar ibu. Jika hujan deras, petir menggelegar, aku kerap ketakutan. Siang ataupun malam, petir membuatku takut. Jika takut, aku berteriak. Ini membuat ibu prihatin. Ibu tidak mau aku menjadi tidak tidur dan mengganggu seisi rumah. Apalagi tetangga.