Gelas-gelas itu berubah warna, dari hijau ke kuning, lalu menjadi merah. Pecah. Perempuan-perempuan yang memegang gelas-gelas itu lunglai ke tanah. Tak bernyawa. Seperti kehabisan tenaga. Tak berdaya. Tak bersuara. Keluarga bertangisan, melihat dari kejauhan. Setelah seminggu, barulah mereka bisa menjemput jenazah perempuan-perempuan itu untuk kemudian dipusarakan.
Airmata menderas di pipiku. Hanya dalam beberapa menit sejak tiba di Desa Kenangan 1, aku sudah menyaksikan cukup banyak gelas yang berubah warna dan pecah.
“Aku harus kuat untuk bisa menuliskan cerita ini dan segera memublikasikannya,” pikirku.
Sementara aku sibuk merogoh buku gawai dari ransel, sejumlah perempuan lainnya masih berdiri di Lapangan Gelas Kenangan di bibir luar dari desa itu. Mereka memegang gelas-gelas berwarna hijau, kuning, atau merah. Ada yang segera tumbang begitu gelas yang dipegangnya bertahan satu jam dalam warna merah.
Sosok-sosok baru terlihat muncul dari gerbang desa, dengan memegang gelas, dan bergabung di lapangan.
Yang bisa bertahan selama satu jam memegang gelas dan mempertahankan warnanya tetap hijau, terlihat melangkah masuk kembali ke arah Desa Kenangan 1 dan desa di sekitarnya. Gelas di tangan mereka lenyap. Wajah-wajah mereka terlihat lega sekali. Keluarga menyambut dengan suka hati dan mendampingi sampai rumah.
Aku adalah jurnalis muda dari kantor berita Cecarat – singkatan dari "cepat, canggih, akurat". Cecarat merupakan kantor berita baru dan saat ini diakui sebagai media tercanggih di dunia. Banyak yang melamar kerja di Cecarat, tetapi sedikit yang terpilih. Seleksinya amat ketat. Hanya yang dinilai benar-benar berbakat dan berkompetensi yang lolos.
Aku beruntung. Baru saja lulus sebagai doktor dalam ilmu humaniora digital, aku langsung ditawari bekerja di Cecarat. Aku getol belajar, sehingga memutuskan akan bekerja setelah menyelesaikan sekolah sampai jenjang doktoral. Sangat bersyukur bahwa warisan orangtuaku cukup banyak, sehingga tidak ada kendala biaya untuk mewujudkan impianku itu.
Ketertarikanku pada bidang humaniora berawal dari pengalaman hidup. Ibuku perempuan tangguh. Namun, suatu kali, ayahku selingkuh. Untuk soal yang satu ini, ibu rapuh. Tak mampu melupakan kepahitan itu, ibu mengakhiri hidupnya tak lama kemudian.
“Berdamai? Ya. Bersatu? Tidak,” tegas ibuku ketika ayahku meminta maaf dan memohon diberikan lagi kesempatan untuk hidup bersama.
Setahun kemudian, ayah menyusul ibu karena depresi berat. Paman dan bibi menjadi waliku.