Ini bukan irisan kentang atau tomat, meskipun buntutnya bertemu kopi dan teh susu nikmat.Â
Ini irisan soal mama.
Serentetan peristiwa kami lalui sejak lama. Hingga, malam itu (Senin, 19 Juni 2023), kami harus melepas Mama Aurelia yang bersama keluarganya akan pindah ke Kutacane, Babussalam, Aceh Tenggara.
Malam itu, ada guru-guru sekolah minggu yang sebagian besar mama-mama. Pernah ada film pendek tentang doa seorang mama. Ada tim pendoa syafaat yang semuanya mama-mama. Ada pertemuan dua hari (Sabtu-Minggu) akhir pekan lalu yang juga mayoritas mama-mama.
Malam itu, kami diizinkan bertemu dengan semua kenangan itu dan masih banyak lainnya, di gereja, untuk melepas Mama Aurelia yang akan berangkat lusa. Mama Aurelia merupakan irisan utama dari seluruh rangkaian peristiwa yang tertutur baru saja.
Irisan itu bertemu di gereja. Ada doa sebagai pembuka. Ada pesan-pesan dari para mama untuk seorang mama, termasuk pesan tentang seorang mama dari seorang mama. Ada makan bersama walau sederhana bersama para mama.
Bukan direncana, dua anak sekolah minggu, kakak-beradik, juga ada di sana. Mereka anak sekolah dasar, kelas empat dan dua. Mereka ikut ke gereja untuk menemani Mama mereka. Akhirnya, mereka ikut memberikan pesan dan kesan untuk Mama Aurelia, mewakili murid-murid sekolah minggu, teman-teman mereka.
Ya, tentu saja ada air mata. Terlebih ketika kami membalik-balik lembaran memori kami tentang Mama Aurelia dan kehangatannya. Ketika bersama-sama menjalani suka-duka, sedih-gembira, serius-jenaka, khusyuk-santai ria.
Amang paniroi (penatua gereja) sekolah minggu adalah yang terakhir menyampaikan satu-dua patah kata. Perjumpaan ditutup dengan doa oleh Mama Lydia.