Dalam 1 Korintus 13 ayat 4 sampai 7 dituliskan, "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu"
Berangkat dari Hukum Taurat, Allah mengajarkan kepada kita tentang dua macam kasih, yaitu kasih kepada Allah (hukum Taurat pertama hingga keempat) dan kasih kepada sesama manusia (hukum Taurat kelima hingga ke-10).
Penegasan mengenai kasih kepada Allah dan sesama manusia bisa kita dapatkan pada Matius 22 ayat 37 sampai 40 yang berbunyi, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi".
SOP dalam Menyatakan Kasih
Standard Operating Procedure (SOP) tidak hanya berlaku di laboratorium atau pekerjaan kantoran. Penerapan kasih juga memiliki SOP, baik tentang prosedur maupun tentang "siapa melakukan apa". Anak-anak Tuhan idealnya mengerti SOP kasih, sebagaimana halnya pekerja yang profesional memahami SOP dalam pekerjaannya.
Mengasihi Allah dapat kita lakukan dengan menuruti perintah-perintah-Nya (1 Yohanes 5 ayat 3). Berpijak pada 1 Korintus 13 ayat 4 sampai 7, misalnya, kita mewujudkan kasih dengan karakter sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Kita juga mengaplikasikan kasih dengan "tidak bersukacita karena ketidakadilan" (melainkan "bersukacita karena kebenaran"), "menutupi segala sesuatu", "percaya segala sesuatu", "mengharapkan segala sesuatu", "sabar menanggung segala sesuatu".
Kata-kata "menutupi segala sesuatu" berkonotasi bahwa kita tidak boleh menjelek-jelekkan orang lain. Sementara "percaya segala sesuatu" mengajarkan bahwa kita harus percaya kepada rancangan Allah. Percaya, bahwa dalam setiap perkara ada hal yang baik dan indah.
"Kecurigaan" menyebabkan ketidaktenangan. Ketidaktenangan bisa melahirkan emosi, bahkan bisa berimbas pada hal-hal yang di luar konteks. Emosi yang tidak selesai di rumah atau di suatu tempat akan terbawa sebagai obsesi yang bisa meledak kapan saja, di mana saja, terhadap siapa saja. (Waduh, jadi teringat film A Man Called Otto) Orang yang memiliki obsesi seperti itu biasanya nyata terlihat sebagai kepribadian yang pemarah, "meledak-ledak", terus-menerus penasaran, bahkan ketika kebenaran sudah dinyatakan.
Jika memang kita menilai ada sesuatu yang patut dipertanyakan, berbicaralah empat mata. Sebab, bukan mustahil, persoalan itu lahir hanya karena prasangka, yang belum tentu benar. Anak-anak Kasih perlu menanyakannya kepada orang yang paling relevan untuk ditanyakan, bukan kepada orang lain, apalagi kepada orang yang belum mengerti persoalannya. Bisa-bisa yang terjadi adalah ghibah dan mencari pembenaran atas prasangka yang ada. Dengan berbicara empat mata diharapkan ada pelurusan atau jawaban untuk setiap prasangka.
Matius 18 ayat 15 hingga 17 mengatakan, ”Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai."