Kontribusi warga negara dengan membayar pajak untuk pembangunan negara sesuai dengan intisari dari Pancasila yaitu Gotong Royong. Sebagai ilustrasi, dari kontribusi pajak sebesar seratus ribu rupiah, Rp 20 ribu dialokasikan untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang cerdas demi masa depan negara dengan menyediakan akses pada pendidikan. Rp 27 ribu dari seratus ribu rupiah uang pajak digunakan untuk menghadirkan dokter-dokter di desa untuk meningkatkan taraf kesehatan. Dari seratus ribu rupiah kontribusi pajak kepada negara, Rp 19 ribu digunakan untuk menyambung desa ke desa dan desa ke kota, mendekatkan air bersih pada masyarakat di pedalaman negeri, menyediakan atap agar dapat terus belajar di bawah terik matahari dan derasnya hujan, menyediakan pasar untuk menyediakan bahan pangan yang berkualitas dan berbagai manfaat lainnya.
Rp 19 ribu memang jumlah yang sangat tidak besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun, 40 juta jiwa warga negara kelas menengah di Indonesia dengan gotong royong dapat memberikan kontribusi kepada negara hingga Rp 760 miliar untuk pembangunan infrastruktur dengan uang sebesar seratus ribu rupiah.
Rp 760 miliar tentu dapat membangun ratusan bahkan ribuan sekolah di Sumbawa dan daerah kurang berkembang lainnya. Rp 760 miliar tentu dapat digunakan untuk membangun ratusan bahkan ribuan jembatan untuk menyambung desa dengan desa dan juga desa dengan kota. Rp 760 miliar tentu dapat digunakan untuk menyediakan akses air bersih sehingga Saudara kita tidak kesulitan ketika musim kemarau tiba. Rp 760 miliar tentu dapat digunakan untuk membantu Saudara kita yang mengalami kesulitan keuangan untuk berobat. Dan itu hanya segelintir dari banyak sekali manfaat uang sebesar seratus ribu rupiah yang bahkan tidak cukup untuk membeli dua gelas kopi di kafe bermerek di ibukota.
Menjadi pahlawan di zaman modern ini tidak perlu dengan pergi ke medan perang sambil mengangkat bambu runcing atau sibuk mencari kambing hitam atas polemik bangsa. Menjadi pahlawan di zaman modern ini lebih dari sekadar memainkan jari namun juga memberikan kontribusi dan mengawasi. Kalau bukan Kita pemuda-pemudi masa kini yang peduli, lalu siapa lagi?
Oleh Luhur Febriansyah
Mahasiswa Program DIV Akuntansi Alih Program PKN STAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H