Sejak kecil, aku dibelikan buku oleh orangtua. Dari majalah anak-anak seperti Ananda, Bobo, Tomtom, Siaga, Kuncung, juga komik seperti Tintin, Laba-laba Merah, dan masih banyak lagi, juga novel, Little House in the Prairy, Lima Sekawan, Sapta Siaga, Tom Sawyer. Beranjak remaja, majalah remaja pun mulai masuk kehidupanku, tapi majalah anak-anak masih tetap kubaca. Beranjak dewasa, majalah pun bertambah jenisnya. Menurut orangtuaku,"Gaji Bapak 'habis' untuk berlangganan semua bacaan". Aku merasa 'kaya', karena dilimpahi kasih sayang yang berwujud dunia ramai tanpa suara. Ya, ramai. Buku selalu berbunyi menurutku, walau tanpa suara. Karena itu buku adalah sebuah dunia, bukan hanya sebuah jendela.
Di sekolah, terkadang guru memberi test untuk kami para murid, sebelum pulang sekolah. Diberi pertanyaan, dan siapa yang bisa menjawab, boleh pulang lebih dulu. Entah pelajaran, atau pengetahuan umum. Aku sering diperbolehkan pulang terlebih dulu karena aku selalu bisa menjawab. Dan semua jawabanku berasal dari buku yang kubaca.
Dari buku yang kubaca, aku tahu tentang budaya, bahasa, gaya hidup, dan masih banyak lagi. Banyak hal kuketahui dari buku. Buku bicara banyak, susunan kalimat yang ada dalam buku, ramai bercerita tentang segala macam. Walau pun orangtuaku berasal dari Jawa Tengah, aku tidak pernah tahu daerah Jawa Tengah, tidak bisa bahasa Jawa. Dan akhirnya aku bisa menguasai sedikit-sedikit bahasa Jawa dari buku yang kubaca. Juga tentang daerahnya, dan adat istiadatnya. Bukan cuma tentang itu saja, aku tahu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H