Beberapa waktu lalu, aku menonton video di status teman sosmed, mengenai kekerasan fisik yang dilakukan siswa Sekolah Dasar terhadap temannya, seorang siswi, di dalam kelas saat tidak ada guru. Tak seorang teman pun menolong, malah peristiwa itu divideokan oleh siswa lain, dan yang melakukan kekerasan itu bukan cuma seorang saja, melainkan beberapa orang. Yang tak ikut melakukan kekerasan tersebut, hanya diam, ga membantu, dan ga berusaha menghentikannya. Pelaku malah tertawa di depan kamera.
Bergidik melihat tayangan itu, dan tak habis pikir, apakah teriakan-teriakan mereka tak terdengar oleh kelas lain, dan kemanakah guru yang seharusnya mengajar mereka? Sedih banget menontonnya. Pelaku-pelaku di video tersebut anak usia SD, yang mungkin sekitar 10 tahun-12 tahun. Pengasuhan, pendidikan, pengajaran seperti apakah yang mereka dapat dalam menjalani kehidupan, di usia mereka yang baru saja menginjak awal belasan tersebut? Sama sekali ga ada kasih dalam perbuatan itu. Apakah menendang, meninju, memukul kepala seorang lain, dan dilakukan oleh (banyak) orang terhadap orang lain, termasuk bagian dari kasih?
Siapa yang salah dalam hal ini? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas perbuatan seperti ini? Siapa yang patut dituding sebagai penyebab anak menjadi pelaku tindak kekerasan? Orangtua, guru, lingkungan, atau anak itu sendiri?
Anak dilahirkan bersih, putih bagai kertas putih. Orangtua sebagai orang pertama yang mengenalkan pada anak tentang cinta kasih, kasih sayang, kelembutan, dan semua hal awal ada di pengasuhan orangtua. Coretlah dengan tinta hitam, kertas putih tercoret hitam. Coretlah dengan tinta merah, maka kertas putih tercoret merah. Tulislah hal yang indah, maka akan tertulis hal indah di atas kertas putih. Tulislah kemarahan, caci maki, kebencian, maka tertulis pula hal itu di sana.
Anak adalah peniru paling jitu. tersenyumlah, maka mereka belajar meniru senyum, tertawalah dan mereka belajar meniru tertawa. Berteriaklah kasar, maka mereka pun belajar meniru berteriak kasar. Mereka peniru jitu, dan mereka bisa menjadi lebih hebat dari orangtua. Memberi contoh tersenyum, senyum mereka lebih manis dari senyum orangtua. memberi contoh memaki, mereka menjadi lebih hebat dalam memaki dibanding orangtua!
Sang ibu memaki, berteriak, memukul, mencakar, saat marah pada sang ayah, dan bahkan pada putra mereka. Sang ayah dalam posisi 'bertahan' di kondisi tersebut. Bertahan dalam arti membalas makian, dan pukulan. Anak kerap menjadi penonton 'film action nyata' tersebut. Anak belajar menghadapi kondisi 'buruk' tersebut dengan 'baik', dari ibu, juga dari ayah. Di usia kurang lebih 3 tahun, anak tersebut sudah bisa membalas pukulan sang ibu dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya! Menyedihkan... Juga ada contoh lagi, sang anak setiap kali diberi teriakan penuh amarah, dan akhirnya anaknya pun bisa berteriak membalas kemarahan orangtua. Anak rewel, diteriaki bahkan dicubit. Oops, bukankah semakin menjadi-jadi rewel anak tersebut? Dan orangtua semakin marah, dan anak semakin rewel, dan begitu terus. Itukah pengasuhan penuh kasih dari orangtua? Â Balik lagi ke alinea sebelumnya, anak bagai kertas putih, anak peniru paling jitu!
Agar anak-anak pun meniru damai, bukan meniru kekerasan, sebagai orangtua, teman, sahabat, dan sebagai siapa pun kita, mulai sekarang mari tersenyum. Â Membudayakan senyum, membiasakan tersenyum, adalah satu hal indah untuk mendamaikan hati. Jangan lupa, anak adalah peniru jitu. Jadi, mari tersenyum indah penuh damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H