Sesuai dengan UU no 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, peranan Bank Indonesia adalah sebagai Bank Sentral yang bertugas untuk melakukan penentuan kebijakan moneter, memastikan berlangsungnya sistem pembayaran, dan melakukan pengawasan Bank. Krisis keuangan di tahun 2008 – 2009 yang melanda seluruh dunia menjadi latar belakang kekhawatiran Pemerintah dan DPR untuk membentuk lembaga Otoritas Jasa Keuangan semacam Financial Service Authority di Inggris melalui penerbitan UU no 21 tahun 2011, walaupun kebijakan tersebut ternyata bertolak belakang dengan dengan arah kebijakan negara-negara maju untuk memasukkan kembali lembaga FSA mereka ke dalam Bank Sentral. Melalui UU tersebut, OJK berperan untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap perbankan yaitu hal-hal mengenai tingkat kesehatan, tata kelola, manajemen risiko, dan pemeriksaan Bank menjadi wewenang OJK. Di sisi lain, fungsi lender of the last resort, tetap menjadi wewenang Bank Indonesia. Ketika suatu bank yang berdampak sistemik mengalami krisis keuangan, Bank Indonesia akan memutuskan untuk memberikan pembiayaan darurat dimana sumber dananya diambil dari anggaran negara.
Ketika berbicara mengenai risiko sistemik, masih terdapat perbedaan di kalangan akademisi mengenai bagaimana melakukan pengukuran dan pengawasan risiko sistemik. Pengukuran risiko sistemik amat terkait erat dengan identifikasi pemicu sistemik risk sendiri. Identifikasi atas penyebab risiko sistemik sendiri amat sulit untuk diidentifikasi. Salah satu kesulitan dalam melakukan identifikasi tersebut adalah karena risiko sistemik dapat merupakan akibat kombinasi dari berbagai keadaan. Oleh karena itu, pemantauan risiko sistemik harus merupakan pemantauan berbagai hal yang dihubungkan satu sama lain. Untungnya, pada UU OJK sendiri, Bank Indonesia masih diberikan mandat untuk melakukan pengawasan secara langsung terhadap perbankan yang merupakan Domestic Systematically Important Bank.
Beberapa akademisi mengusulkan pengukuran risiko sistemik yang bersifat Makroprudensial di samping metode pengukuran mikroprudensial. Terdapat beberapa definisi mengenai makroprudensial. Bank of England (2009) menyebutkan bahwa kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian. Lawan kata dari makroprudensial adalah mikroprudensial, di mana titik berat pengawasan adalah lebih kepada pengawasan institusi keuangan secara individu. Makroprudensial dapat dilihat sebagai analogi dari portfolio asset yang terdiri dari seluruh institusi keuangan sementara mikroprudensial adalah merupakan single asset. Sesuai dengan pembagian tugas dan tanggung jawab pada UU OJK, maka OJK diserahi wewenang pengawasan mikroprudensial sementara BI diserahi wewenang makroprudensial.
Sesuai dengan definisi diatas mengenai makro dan mikroprudensial, pemisahan pengawasan risiko sistemik perbankan mikro dan makroprudensial ke dalam dua lembaga berbeda sebetulnya cukup berrisiko. Terdapat kemungkinan bank tidak mempunyai risiko sistemik sebagai individual, namun bersama-sama dengan bank lain sebagai kelompok memiliki risiko sistemik karena mempunyai perilaku dan karakteristik portofolio dana dan kredit yang sama. Beberapa bank yang bermain di pasar yang sama, adalah contoh dari perilaku herding behavior. Contoh yang paling baru adalah perilaku perbankan dengan likuiditas ketat yang tergantung pada simpanan perusahaan besar. Pada gilirannya, persaingan untuk memperebutkan dana tersebut memicu perang suku bunga pada perbankan.
Kebetulan krisis moneter 1997 – 1998 di Indonesia dipicu oleh kondisi makro dan pemberian kredit perbankan yang kurang hati-hati. Basri (2012) menjelaskan mengenai kondisi krisis moneter Indonesia di 1997 – 1998. Krisis tersebut dimulai dari efek contagion kejatuhan mata uang Thailand, yang kemudian diikuti oleh kejatuhan kurs rupiah. Sebelum terjadinya kejatuhan mata uang tersebut, di Indonesia sedang terjadi lonjakan pinjaman dengan diikuti tingginya rasio Non Performing Loan (NPL). Bank Indonesia menaikkan BI Rate secara drastis dalam mengantisipasi anjloknya nilai rupiah dan melikuidasi 16 bank kecil sampai menengah. Kenaikan BI Rate memicu kenaikan suku bunga kredit (sampai dengan 70%), yang pada gilirannya memicu terjadinya kesulitan keuangan perusahaan secara bersama-sama. Selain itu, likuidasi perbankan beramai-ramai tersebut mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat, sehingga pada gilirannya, terjadi pelarian modal keluar dari Indonesia dan menyebabkan Indonesia terperosok secara lebih dalam ke dalam krisis keuangan (downward spiral).
Borio(2010) mengusulkan berbagai cara pemantauan risiko sistemik dengan makroprudensial. Borio mengusulkan untuk melakukan pemantauan correlasi expossure pada berbagai institusi-institusi keuangan. Hal ini dapat terjadi karena institusi mempunyai jenis asset yang sama (misal beberapa bank yang amat fokus pada pinjaman KPR ataupun industri tertentu) atau exposure tidak langsung karena adanya hubungan antar asset, misal: suatu bank yang mengalami kesulitan keuangan mempunyai hubungan dengan beberapa bank lain. Memberlakukan maximum loan to value ratio yang rendah (misal menaikkan down payment KPR) atau berdasarkan valuasi yang kurang sensitif terhadap market prices adalah salah satu hal yangg disarankan dalam mengatasi eksposure tersebut.
Bank Indonesia juga harus melakukan pemantauan atas berbagai faktor makroekonomi. Kredit yang diberikan kepada suatu sektor industri tertentu dan NPL-nya juga menjadi salah satu perhatian. Bank umumnya mempunyai pandangan yang relatif sama mengenai sektor-sektor industri yang menjadi primadona ataupun harus dijauhi. Kesamaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya risiko sistemik manakala terjadi kenaikan kredit macet pada industry tersebut. Selain itu, persaingan antar perbankan yang bermain pada segmen pasar yang sama juga perlu menjadi perhatian. Persaingan tersebut dapat menjadi hal yang baik ataupun buruk, tergantung pengawasan perbankan. Net Interest Margin yang tinggi diindikasikan menjadi salah satu faktor kerentanan debitur (karena harus membayar bunga yang tinggi) yang pada gilirannya berdampak kepada bank itu sendiri.
Hal lain yang terutama tak kalah pentingnya adalah situasi ekonomi di masyarakat. Bahkan sebetulnya pemantauan terhadap berbagai indicator makroekonomi adalah inti dari pengawasan stabilitas perbankan. Kenaikan BBM adalah issue hangat dan cukup menggelisahkan rakyat khususnya rakyat kecil. Berapa dampaknya terhadap inflasi dan daya beli masyarakat? Hal ini tentunya mempunyai efek domino kepada berbagai industry, mulai dari makanan, otomotif, dan lain sebagainya. Bagaimana pula dampaknya terhadap kredit konsumsi dan property? Jangan lupa, trik pemasaran bank yang menawarkan bunga fix dua tahun pertama, setelah itu mencekik leher. Berapakah harga kenaikan BBM yang mampu ditanggung oleh masyarakat? Hal tersebut harus mampu disimulasikan oleh Bank Indonesia dan disosialisasikan untuk menjamin kestabilan pasar.
Akhirnya, dapat dikatakan bahwa tugas dan peran Bank Indonesia sebagai nahkoda kebijakan moneter dan pengawas perbankan sungguh tidak mudah, apalagi sektor moneter sebetulnya saling mempengaruhi dengan keadaan real ekonomi suatu negara. Banyak hal yang sebetulnya berada di luar kontrol Bank Indonesia. Tekanan terhadap kurs rupiah akhir-akhir ini, sebetulnya mencerminkan ketergantungan ekonomi kita terhadap negara lain, kecenderungan konsumsi masyarakat akan barang impor yang tinggi, lemahnya infrastruktur karena tingginya belanja pegawai dan borosnya pemerintahan, serta rapuhnya daya saing industry kita. Hal ini ibarat tukang sulap yang melempar tangkap beberapa bola karet ke udara (juggling). Hanya bedanya kali ini yang dilempar ke udara adalah ibarat barang pecah belah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H