Jika kau bertanya seberapa aku bangga pada pencapaianmu, sudah pasti ada beribu-ribu kebanggaan yang akan aku berikan, tapi aku masih menunggu waktu untuk memberikannya. Lantas, jika kau ingin melontarkan tanya kembali kenapa sejak pekan lalu aku diam dan meredam, tentu saja bukan karenamu, aku hanya sedang dalam fase melupakan kemungkinan untuk meraihmu.
Kau berdiri dengannya, menunggunya meneguk segelas air, dan membantunya berjalan tatkala dia kesulitan, kau memegang bahunya untuk membenarkan posisinya berdiri, dan mengepalkan tanganmu ke udara untuk membuatnya terus kuat. Tenang, aku masih bangga dengan hal yang aku lihat, apalagi dengan sikapmu yang baik terhadap orang-orang di sekitarmu. Aku harap kau tidak hanya memotivasi dan menguatkan dirinya, kau juga perlu termotivasi dan menguatkan dirimu sendiri.
Boleh jadi kau akan terus menemani dirinya, menyemangatinya, dan meraih pencapaian yang lebih dari sebuah apresiasi kata. Dimana aku akan tetap asing, diam-diam melepaskan, dan menerima keadaan.
Lambat laun aku juga akan menjauh, melupakan gurauan kita, dan melambai pada semesta bahwa kita hanya sementara. Aku yang sedang diam menghilangkan rasa, dan kau yang berlarian mengejarnya.
Kalaupun nanti kau tetap bersamanya, dan teori-teori mereka yang mengatakan ekspektasi-ekspektasi yang tidak mungkin jadi realita di antara kita. Aku ingin kau bangga dan tidak ada buruk rasa dalam memilihnya.Â
(Ditulis pada 24 Februari 2020, Re-publish)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H