Alasan terkuatku masih tetap berpijak di tangga pertama dalam fase merasa adalah tidak adanya keberanian dan tumbuhnya keraguan dalam membuatnya ke tingkat selanjutnya. Sebenarnya kita saling menyapa, bahkan saling melempar canda, walaupun ada sedikit kata yang membawa luka. Namun, kita tetap berdua membicarakan hal di masa dahulu yang disebut nostalgia, dimana dua kepala bertemu tak sengaja di sebuah perkumpulan yang memaksa kita agar terus bercengkrama.
Kadang, mencoba mengacuhkan adalah cara yang ditempuh ketika otak tidak mampu berpikir, dan raga tidak sanggup untuk bertemu lagi. Aku membenci, di saat aku mulai lupa untuk merasa, kau datang dengan tangan melambaikan sejuta panah agar benteng yang sulit aku bangun roboh tak beraturan. Kau benar-benar menyebalkan, dan memang benar pada prinsipnya kau memang dicipta untuk dicinta. Sangat malu untuk mengakuinya di saat aku mencoba melupa tentang merasa.
Seseorang bilang bahwa gerak-gerikmu, dan tingkahmu padaku menandakan bahwa kau tengah memperlihatkan rasamu padaku. Tapi, agaknya aku tidak mau berpikiran terlalu jauh dan jatuhnya halu untuk disuka seseorang sepertimu.Â
Bahkan tidak hanya satu orang yang bilang bahwa kau menyukaimu, ada hampir 10 kepala yang mengatakan hal demikian, tapi aku mencoba agar diri ini tidak terlalu jauh dalam menangkap teori-teori yang mereka buat. Sebab, jika ekspektasiku yang berlebih tidak sesuai dengan realita, maka aku tetap akan berada di pijakan pertama, dan sebaliknya jika ekspektasiku berubah menjadi realita nyata tentu saja aku masih tidak akan sanggup untuk bersuka ria.
(Ditulis pada 24 Februari 2020, re-publish)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H