Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hutan lebat, hiduplah seorang pemuda bernama Cuiptok. Ia dikenal sebagai sosok yang ceria dan penuh semangat. Namun, di balik senyumnya, Cuiptok menyimpan satu rahasia besar: ia menderita sakit yang tidak kunjung sembuh. Setiap hari, ia berupaya untuk menjalani kehidupan sebaik mungkin meskipun rasa sakit itu terus menggerogoti tubuhnya.
Suatu ketika, Cuiptok bertemu dengan seorang gadis cantik bernama Dwicahaya. Dwicahaya adalah sosok yang lembut dan penuh perhatian. Sejak pertemuan pertama, mereka berdua langsung terikat oleh ikatan yang kuat. Cuiptok mulai jatuh cinta kepada Dwicahaya, dan Dwicahaya pun merasakan hal yang sama. Dengan penuh harapan dan cinta, Cuiptok berusaha menunjukkan bahwa sakit yang dirasakannya tidak akan pernah menghalangi kebahagiaannya bersama Dwicahaya.
Saat hubungan mereka semakin dekat, Cuiptok merasa bahwa ia harus mengungkapkan penyakitnya kepada Dwicahaya. Dengan hati yang penuh keraguan, ia menceritakan segalanya. Namun, alih-alih menjauh, Dwicahaya malah berjanji akan selalu menemani Cuiptok, dalam keadaan apapun. "Hidup-matimu adalah hidup-matiku juga," ucap Dwicahaya dengan tegas. Janji itu menjadi kekuatan baru bagi Cuiptok, dan ia bertekad untuk berjuang demi orang yang dicintainya.
Namun, cobaan tak berhenti di situ. Suatu malam, dalam sebuah perjalanan ke hutan untuk mencari obat herbal, Cuiptok terjatuh dan terluka parah. Dwicahaya bergegas membawanya pulang dan berusaha merawatnya. "Kau harus bertahan, Cuiptok. Hidup-matiku, hidup-matimu," katanya dengan air mata di pelupuk mata. Cuiptok pun berjuang untuk tetap hidup meskipun rasa sakitnya begitu hebat.
Kondisi Cuiptok semakin memburuk, dan setiap hari terlihat semakin lemah. Meskipun demikian, Dwicahaya tidak pernah meninggalkannya. Ia selalu ada di samping Cuiptok, memberikan semangat dan harapan. "Aku tidak akan pergi kemana-mana. Hidup-matinya hanya akan terjadi jika kita berdua tidak bertahan."
Akhirnya, setelah berjuang mati-matian, Cuiptok mendapatkan pertolongan Yang Maha Kuasa melalui perantara seorang tabib tua yang tinggal di pinggir desa. Dengan cara-cara tradisionalnya, tabib itu berhasil menyelamatkan Cuiptok. Namun, perjalanan kesembuhan itu penuh dengan pengorbanan dan kesedihan. Cuiptok harus menjalani serangkaian perawatan yang menyakitkan, dan Dwicahaya setia menemani di setiap langkahnya.
Bertahun-tahun berlalu, Cuiptok akhirnya sembuh total atas pertolongan Yang Maha Kuasa melalui perantara Dwicahaya dan tabib tua itu. Kini, mereka berdua bisa merasakan arti sebenarnya dari cinta dan pengorbanan. "Hidup-matiku, hidup-matimu, hidup-matinya," ucap mereka bersamaan, seperti sebuah mantra yang mengikat janji mereka selamanya.
Akhirnya, mereka berdua membangun sebuah rumah di tepi hutan itu dan menghabiskan hari-hari bahagia bersama. Menyadari bahwa hidup adalah tentang saling mendukung dan menjaga satu sama lain, mereka berjanji untuk selalu mengingat perjalanan yang telah mereka lalui. Karena di dalam cinta, siapa pun bisa mengatasi hidup dan mati, asal ada satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H