Alasan kedua, kalau saya harus mengkampanyekan nasi aking bukan tanda orang miskin, kampanye saya jelas kalah dengan kampanye tokoh-tokoh nasional yang seringkali bilang nasi aking adalah indikator kemiskinan dan ketidaksejahteraan. “Di masa pemerintahan sekarang, masih banyak orang makan nasi aking. Sungguh memprihatinkan!” seru mereka. Beberapa yang lebih berani menambahi dengan, ”maka di pemilu nanti, pilihlah saya”.
Punya bondo opo saya untuk muncul di televisi lama-lama dan membayar iklan satu halaman penuh di surat kabar? Untuk muncul di televisi, butuh 40 hingga 60 juta per menit. Iklan di surat kabar lain lagi, per halamannya bisa sampai 450 juta. Pak Sutrisno Bachir saja untuk bilang ‘hidup adalah perbuatan’, seperti ditulis sebuah majalah nasional tanggal 18 Mei 2008, habis 20 miliar, jumlah yang cukup untuk berbuat sesuatu ketimbang buat bergaya di layar kaca. Singkatnya, saya miskin dan orang miskin tidak bisa ikutan demokrasi, termasuk demokrasi menentukan nilai nasi aking. Sebab “Demokrasi itu”, sabda Mas Rizal Malarangeng, “memang mahal bos!”.
Akhirnya, alasan yang lebih menakutkan adalah nasi aking lebih mengingatkan kita akan penjajahan. Dijajah Belanda, makan nasi Aking. Dijajah Jepang, makan nasi Aking. Pokoknya di jaman penjajahan, tiada hari tanpa nasi aking. Nasi aking adalah makanannya masyarakat terjajah. Haji, kelas atas pribumi yang berhasil pergi ke Makkah pun, dalam jaman penjajahan, berbekal karak dalam perjalanan. Eyang Kaji Gunawan, Eyang Kaji Dulmajid, Eyang Kaji Dulkamid juga haji-haji di jaman penjajahan dulu mungkin bisa jadi saksinya.
“Jadi maksud sampeyan mau bilang; nasi aking adalah nasi yang dimakan orang miskin, nasi aking juga adalah makanan orang terjajah. Jadi dalam konteks pemaknaan nasi aking di Indonesia, subyek ‘orang miskin’ di jaman sekarang menggantikan subyek ‘orang terjajah’ yang menjadi makna dahulu. Dengan demikian, orang miskin di Indonesia sekarang sebenarnya sama dengan orang terjajah, begitu mas?” tanya teman saya. “Mungkin!” kata saya.
“Terus penjajahnya siapa mas?”. Saya diam. “Apa orang-orang yang bilang kalau nasi aking itu indikator orang miskin?”. “Maksudmu?”.“Sebab hanya mereka yang mampu bilang nasi aking makanan orang miskin. Dengan menganjurkan tidak makan nasi aking, mereka itu berusaha menutupi penjajahan yang sedang dan akan mereka lakukan. Minimal mereka bisa mengatur harga beras, karena orang Indonesia makan beras, bukan nasi aking” teman saya berargumen. “Hush! Ngawur…”, sergah saya, sebab saya dan mungkin anda akan sangat berat untuk bilang; mungkin juga. “Wah kayak analisis tanda mas, semiotik banget!”. Saya tersenyum malu-malu dipuji teman saya yang mahasiswa itu. Bisa juga saya menganalisis gaya mahasiswa; kritis dan intelektual.”Saya jadi dapat ide bagus buat usaha Mas. Daripada jadi tim sukses 2009 nanti, gimana kalau kita mainkan harga nasi aking saja? Belum ada pemainnya lho mas…”
*)12-17 Mei 2008/www.holyrafika.blogspot.com. maaf belum bisa nulis coretan yang baru...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H