Tahun-tahun 90-an awal, ketika Indonesia belum dihantam krisis moneter, setiap hari minggu Mbah Putri selalu membuat sego karak alias nasi aking. Nasi kering yang kemudian direndam dan dimasak lagi itu kalau ditambah garam sedikit, plus parutan kelapa, tak terbayangkan nikmatnya. Kalaupun tak dibarengi lauk, ia tetap uenak tenan! Soal gizi yang katanya berpengaruh terhadap kehidupan, kami serahkan kepada Tuhan. “Sing penting bismillah!” kata Mbah Putri. Mbah Putri, boleh dikata memperalat agama agar kami tidak minta daging atau telur, tapi toh setelah makan nasi aking saya masih bisa main bola, masih bisa menimba pompa air bak mandi rumah Mbah Putri yang gedenya 1/8 kolam renang dan alhamdulillah wasyukurillah hingga sekarang saya masih ada.
Sayang memang, sego karak yang uenak tenan itu cuma jadi gaya hidup saya. Seandainya Mbak Dian Sastro yang jadi sir-siran sejuta umat di Indonesia itu gemar makan nasi aking, niscaya ia mendidik berjuta-juta manusia Indonesia yang mengidolakannya bagaimana hidup prihatin. “Nasi aking adalah salah satu media dimana kita belajar untuk hidup prihatin, tidak boros” begitu bijak komentar Mbak Dian di sebuah acara infotainment –tentunya dalam imajinasi saya.
Atau seandainya Mas Bondan Winarno itu sekali-kali makan sego karak di acara televisi yang dipandunya, mungkin sego karak jadi gaya hidup atau minimal bakal dibilang kearifan lokal. “Nasi aking atau kalau di Jawa dikenal sebagai sego karak, adalah kreativitas khas masyarakat Indonesia dimana segala hal termasuk makanan, kita pasrahkan pada Tuhan. Perihal makan, yang penting bukan bagaimana makanannya, tapi kepasrahan kita, kepercayaan akan keberadaan Tuhan” begitu ucap Mas Bondan – sekali lagi, dalam khayalan saya. Tapi apa bismillah atau kalimat puja-puji kepada Tuhan laku di layar televisi ketimbang “Mak Nyus”-nya Mas Bondan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H