Hari ini saya membaca lagi artikel seorang filolog yang menyibukkan diri dengan teks-teks Jawa Kuno. Artikelnya membahas soal Kakawin Ramayana. Tak banyak yang bisa saya ceritakan pada anda semua. Bukan saya tak mau berbagi, tapi karena saya banyak nggak ngertinya; bahasanya londo semua, banyak referensinya.
Maksud saya, ketimbang anda mendengar cerita dari saya, sehingga ikutan banyak nggak ngertinya, mending silahkan cari sendiri saja di jurnal KITLV atau tunggu bukunya di akhir tahun nanti.
Namun sebagai pengoceh yang baik, tentu saya punya beberapa bahan yang saya simpan untuk ocehan. Yang paling nyantol di otak saya adalah Kuntul!
Apa itu kuntul?
Kuntul. Bahasa londonya heron. Di salah satu kamus artinya Grey or white wading bird with long neck and long legs and (usually) long bill. Di wikipedia kurang lebih digambarkan sebagai burung yang hidup di lahan basah. Makanan utamanya adalah ikan dan katak, dan hewan avertebrata misalnya serangga. Jika terbang kepalanya selalu miring, membentuk huruf S.
Bahasa Sanskrit lainnya bagi kuntul adalah ‘vaka’ atau ‘baka’. Menurut artikel tersebut, wajar jika di sekitar Prambanan terdapat cerita lisan mengenai Ratu Baka/Boko. Fahmi Basya dan Matematika Islamnya yang menganggap Ratu Boko itu adalah Ratu Balqis, barangkali harus kecewa. Pasalnya Ratu Baka di jamannya bermakna Ratu Kuntul….
Menurut artikel filolog yang saya baca itu, kuntul di masa kuno digunakan juga untuk sindiran. Salah satunya kuntul yang ada di atas bahu Rahwana yang sedang menculik Shinta, di candi Loro Jonggrang/Syiwa di Prambanan. Kuntul adalah gambaran yang pas bagi orang yang bermuka dua; seolah mengajarkan kebaikan, tetapi aslinya mengajak berbuat nista. Seolah pandhita, tapi aslinya raksasa. Gayanya mbangun negara, aslinya njualin bangsa. Style-nya kritis ceriwis berunjuk rasa, aslinya pengen berkuasa lalu nggebuki orang yang kritis berikutnya…
“Ternyata kuntul pernah jadi alat penting untuk nyindir di cerita besar Syailendra-Sanjaya. Kok sekarang gak pernah lagi dipakai ya?” tanya saya, setelah saya mbeber cerita kuntul. “Lha wong negeri ini isinya kuntul semua Mas, mana bisa kuntul jadi satir? Imamnya kuntul, makmumnya kuntul. Pejabatnya kuntul, rakyatnya kuntul. Hakimnya kuntul, tertuduhnya kuntul. Atasannya kuntul, bawahannya kuntul. Pokok’e Kuntul kabeh! Mana laku sindiran kuntul untuk kuntul…”, komentar teman saya.
“Kira-kira bisa tho di-create undang-undang perkuntulan, ada kuntul yang baik, ada kuntul yang jahat” sahut saya…“Halah Mas, ngayal! Lha wong namanya saja kuntul bermuka dua. Paling focus undang-undangnya rebutan lahan basah, tempat makan para kuntul…”. “Maksudmu?”. “Yo pasti ndak ada. Kalaupun ada aturan dan hukumnya, ingat saja aturan itu selalu bersumber dari segala sumber hukum perkuntulan!”. “Opo kuwi?”. “Bermuka dua!”
Teman saya melanjutkan ceramahnya, “Jadi aturannya barangkali ya cuma ngatur penjatahan; kapan dapat jatah ikan, ya kalau tidak ikan, minimal dapat jatah katak alias swike. Kalau tidak swike, ya serangga. Kalau…”
“Kalau tidak dapat apa-apa?”, potong saya. “Ya kayak kita ini Mas; ngrasani kuntul lainnya. Padahal kita ini yo sama-sama kuntulnya. Bedanya…”. “Bedanya?”. “Kita ini kuntul yang belum pernah dapat jatah ikan…” [ ]