Mohon tunggu...
Er Pnambang
Er Pnambang Mohon Tunggu... -

"Sebab hidup tak semudah ketika anda bercerita, menulis atau berkomentar, mengecil diri kadang bisa mengisar setapak...". Tapi, kok serius sekali saya kayaknya ya? Di Kompasiana saya cuma pengen satu hal; ketawa; entah menertawakan atau ditertawakan...hahahahahahahahhhahahahahahahhhahahah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sadel Sepeda dan Cinta Saya

7 September 2010   13:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:22 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa Hari belakangan banyak tanggapan saya selalu diwarnai dengan term ‘sadel sepeda’. Ya, anggap saja saya cuma guyon. Toh di Kompasiana, saya pengen ketiwi-ketawa, hahaha. Tuhan saja bilang dunia adalah permainan, dunia tak seserius yang kita kira, apalagi Kompasiana? Hehehe.

Kalau ingat sepeda, saya ingat kejadian sekitar awal 2005. Saat itu, di FSK (Forum Studi Kebudayaan) ITB, seseorang yang sedang menyusun disertasi di MIT menjadi pembicara. Saya lupa nama pembicara itu. Yang jelas dalam bahan presentasinya itu nyempil masalah sepele; Sepeda!

Dari dia, saya tahu bukan hanya Mas Bain Saptaman yang rada serius berpikir soal sepeda (rada berarti agak, artinya entah serius entah tidak). Para pemikir dunia yang disebut “sosial konstruksionis” pun memikirkan sepeda.

Mereka serius membahas soal bentuk sepeda. Misalnya pada bentuk roda sepeda yang kita lihat sekarang. Dulu memang sepeda mempunyai bentuk roda yang berbeda-beda. Dulu sekali, ada sepeda yang mempunyai roda belakang yang naudzubillah besarnya, sementara roda belakang kecil minta ampun (lihat disini). Dan jangan salah, menurut mereka, masalah roda ini seringkali terkait dengan kelas sosial kala itu.

Mengapa kemudian bentuk roda sepeda berubah -seperti yang kita lihat sekarang, sama besarnya? Mereka bilang itu hanya terjadi karena negosiasi dalam kehidupan masyarakat yang terus menerus sehingga manusia sama-sama punya makna bahwa roda sepeda haruslah sama besarnya. Dan roda yang tidak sama besar, di jaman dulu itu, sekarang kita sepakati sebagai ‘antik’, ‘jadul’, ‘vintage’, ‘kuno’ bahkan kita bilang ‘aneh’!

Nah bagaimana dengan sadel sepeda?

Sayangnya, saya tak mendapatkan apapun soal sadel sepeda dari presentasi mahasiswa MIT itu. Yang saya tahu, kalau tak ada sadel, saya tak nyaman memakai sepeda. Bahkan dalam memilih sadel, saya perlu usahakan yang paling membuat nyaman. Salah-salah, pantat bisa kepanasan (lihat contoh masalah ini disini)

Sepeda tanpa sadel buat saya tak ada gunanya (kecuali diapkir ke penjual barang bekas tentunya). Dengan sadel, sepeda saya anggap sempurna sebagai ‘sepeda saya’ (sedang ‘saya’ = manusia). Dengan sadel, saya mencintai sepeda. Cinta yang tentunya akan membuat anda dan saya sendiri tertawa, karena cinta itu tidak tertuju pada sepeda, melainkan kecintaan saya sendiri pada pantat saya… []

*Cerita lengkap soal sadel sepeda, nanti Er tagih ke Mas Bain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun