[…] memang tida moedah dan djoega tidak enak orang membela bangsa, akan tetapi boeat kita jang demikian itoe wadjib. Tiada sekali kita boleh melepaskan pengharepan kita. Walaoepoen besar korbannja, akan tetapi kita sekalian wadjib mengorbankan diri djika perloe itoelah wadjib lesatnja.
Waktoe sekarang ini maka njatalah jang saudara lesatnja jang setija. Ingetlah, jang lesatnja itoe boekan segala orang jang bertitel akan berpangkat. Boeat saja maka jang paling tinggo itoe lesatnja jang dalam hatinja, dalem baloeng-soengsoemnja bersifat lesatnja. Dengen persdelict ini saudara telah mengorbankan diri dan segala hoekoeman nistjajalah boeat saudara seperti bintang kehormatan, jaitoe tanda lesatnja (ridderkruis) sekarang boeat mata saja, tinggi sekalilah pangkat saudara, sebab saudara soedah ternjata jang saudara lesatnja pembela-bangsa.
Djangan kira, nanti tiada orang jang soeka mengganti pekerdjaan saudara. Saja rasa, jang sepoeloeh doeapoeloeh, tigapoeloeh orang soeka mengganti saudara. Dengan persdelict ini tentoe banjak orang masoek kemedan pergerakan kita. Berani karena benar! Rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng. Amin.
Salamtaklim
SURIJANINGRAT.
Dengan R.A.
Ini adalah penggalan surat Suwardi Suryaningrat kepada Mas Marco Kartodikromo, pendiri IJB, organisasi jurnalis hindia pertama (Shiraishi, 1997). Saat itu, 1916 Masehi. Suwardi sedang diasingkan di Belanda sedang Mas Marco tegas menolak menyingkap identitas para penulis dalam Majalah “Doenia Bergerak” yang kerap melancarkan kritik kepada penguasa hingga ia harus tujuh bulan mendekam dalam tahanan.
Hari ini saya terpekur di depan doa Suwardi, adakah tulisan saya yang serius membela bangsa ini? Adakah saya sudah mengganti pekerjaan Mas Marco? Atau memang karena jamannya sudah berbeda, Mas Marco sukar mendapat kebebasan menulis, sedang saya bebas menulis apa saja? Ah, entahlah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H