Mohon tunggu...
era maresty
era maresty Mohon Tunggu... -

saya orang kapuas Kalteng, alumni Unpar Kalteng, dan sekarang melajutkan di UNY Jogja. ide-ide komang (my BF) juga bisa saya muat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dilema Sebagai Korban dan Pelaku

7 Oktober 2013   20:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hidup sekarang atau dulu pada dasarnya sama saja, sama susahnya dan nyusahinnya, itu kata saya. Meskipun saya tidak pernah hidup di jaman dulu, paling tidak saya pernah bergaul sama orang dulu yang pernah bergaul sama orang dulu lagi yang juga pernah bergaul dengan orang dulu dan dulunya lagi. Lalu apa hubungannya dengan pembahasan saya ini? Begini sodara-sodara, saya akhir-akhir ini suka didatangin sama pemikiran yang lucu sekaligus menyeramkan, apa itu? Ya itu, hehehe #plakkk. Pemikiran inipada dasarnya adalah hal yang wajar bagi sebagian umat manusia (kira-kira begitulah kata para psikolog), yang biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada manusia *yang saya juga termasuk di dalamnya, yaitu apa yang sebenarnya terjadi? Banyakkkkk. Maksud pertanyaan itu sendiri kalau diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih sederhana ialah apa yang telah terjadi pada hidup kita? (karena hal-hal disekitar kita yang ngalamin juga kita, ya gak?) kenapa emangnya dengan hidup kita sampai ada pemikiran seperti itu, soalnya kan belum tentu hal itu berlaku universal. Kata siapa bro? (loe ngomong apaan sih dari tadi bolak-balik gak jelas gitu?) hidup kita itu kacau cuy. Kacau? Ya ialah kacau, gimana gak kacau kalo banyak orang yang ngomel dan ngeluh hampir tiap hari, dan saya termasuk di dalamnya. Bukannya sok tau tau sok pinter menganalisa, wong saya liat kok.

Mau bukti??? (bagi yang punya jejaring sosial tolong dilogin dulu akunya), liat tuh di jejaring sosial, (bagi yang punya tv pastikan listriknya gak mati) tonton tuh di media massa/ tipi sih biasanya, gabung tuh di tongkrongannya ibu-ibu arisan or anak gawl (susah ngebedainnya,hehehe), perhatikan dengan seksama apa yang menjadi topik pemberitaan (kata orang burung sih trending topic gitu), dan happp, percurhatan kemelut hidup pun dimulai. Contoh yang saya sering dengar adalah tentang pemerintah dan lingkungan yang semakin bermasalah (padahal kalo di jejaring sosial biasanya sering berhubungan sama “hubungan”, ckckckck). Kembali ke topik pemerintah dan lingkungan tadi, pasti sudah banyak yang mengalami sendiri kan kalo orang-orang ntu pada banyak yang gak sengaja menjadi analist dadakan *termasuk saya juga ;malu;, banyak yang menyampaikan opininya dalam berbagai sisi dan rupa. Ada banya pro dan kontra yang timbul (kebanyakan sih yang kontra, ya gak??). Biasanya yang malas mikir jadi jenius secara instan. Kok bisa? Auk ah gaje gt el. Yang pasti itu adalah kekuatan tersembunyi yang timbul di kala seseorang merasa tertekan. Maksudnya? Pernahkah sodara dikejar lebah or suatu binatang yang bertaring dan menggonggong, semisal anjing mungkin? Coba diingat-ingat dulu,apa yang terjadi. Pasti lari tunggang langgang dengan kecepatan yang fantastis kan? Padahal biasanya jogging selama 5 menit juga mata sudah berkunang-kunang (menunjukkan fisik yang memprihatinkan). Itulah yang saya maksud dengan kekuatan tersembunyi, hahahaha (serius!!!!).Itulah yang sering kita lihat dan mungkin alami.

Padahal tanpa kita sadari bahwa hal tersebut bisa terjadi karena kita ikut andil dalam proses pelaksanaannya. Maksudnya? Ya kita mungkin saja seperti membantu penjahat tanpa kita sadari, atau jangan-jangan kitalah penjahat tersebut yang tentu saja juga tidak kita sadari. Apaan sih??? Ok saya kasih contoh, suatu ketika saya melihat di jejaring social ada yang mencak-mencak, katakanlah sama pemerintah yang gak becus mengelola sumberdaya alam Indonesia yang katanya sangat kaya ini, tapi setelah saya liat orangnya (kebetulan kenal), ternyata adalah seorang mahasiswa yang bisa dikatakan seorang yang sangat malas masuk kuliah padahal dia tidak pintar. Ada juga orang yang mengeluhkan korupsi yang semakin parah di Indonesia, padahal dia sendiri diam-diam telah melakukan korupsi dengan banyak membuang waktu orang lain dengan jam karetnya, sebab kata guru agama saya itu juga salah satu bentuk “korupsi kecil-kecilan”.Hal ini kan ironis sekali, bagaimana bisa seorang yang tidak memperdulikan pendidikannya bisa memperdulikan tentang sumberdaya alamnya, padahal pendidikan merupakan modal penting dalam mengelola sumberdaya alam kita dengan tepat. Lebih tepatnya memikirkan diri sendiri saja tidak becus, mau sok-sokan memikirkan yang kapasitasnya lebih luas lagi. Lalu, bagaimana bisa orang yang sejak dini membiasakan diri untuk korupsi tetapi sangat membenci akan adanya korupsi itu sendiri, soalnya membuang waktu orang lain juga dapat dikatakan mengambil hak (waktu) orang lain, toh korupsi juga sifatnya sama dengan mengambil hak orang lain. Katanya pemerintah terlalu sering membodohi rakyatnya dengan mengeksploitasi SDA sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi dan golongannya tanpa menghiraukan orang banyak. Loh, bukannya rakyatnya emang sengaja mau “bodoh”. Katanya juga pemerintah selalu saja korupsi di saat kita sudah muak dengan adanya praktek korupsi, toh kita sendiri juga seringkorupsi meskipun cuma dengan ketidakontimean kita. Kita sering mengeluh tanpa melakukan apa-apa, hanya menyampaikan kritik yang tak bermanfaat, dan kalaupun berbuat lebih biasanya hanya dilakukan segelintir orang (paling tidak saya sudah melakukan sesuatu dengan tulisan ini, hehehehe).

Masih banyak hal yang kita dengungkan tentang “kekacauan” hidup khususnya di Negara ini, tapi kita cenderung enggan untuk mencoba memulai memperbaiki dengan hal yang bisa kita kerjakan terlebih dahulu sekarang. Menurut saya itu sama dengan membantu pelaku kejahatan atau cenderung menjadi “pelaku” kejahatan itu sendiri, padahal kita mengaku sebagai “korban”. Jadi siapakah diri kita sekarang, “korban” ataukah “pelaku”?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun