Anak laki-lakiku terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus. Kini, ia telah berusia 20 tahun lebih. Terdeteksi autistik di usia 2 tahunan. Memiliki dunianya sendiri. Mata tak mau menatap pada siapapun. Tak mengerti perintah. Memiliki masalah di sistem sensorik (mata, telinga, mulut, kulit) dan di sistem motorik halus dan kasarnya.
Dari 10 ciri autistik yang sempat kubaca di sebuah majalah, 9 ciri sudah pasti ia miliki.Â
Untungnya, tidak terbersit kesedihan mendalam pada diriku saat aku mengetahui hal tersebut.Â
Aku menerimanya apapun yang terjadi nanti. Saat itu aku seperti mempunyai keyakinan, bahwa semua akan berproses dan mengalami perubahan. Aku segera mencari info dan membawanya ke dokter saraf anak dan tempat terapi.
Menjelang 4 tahun usianya, ia sempat menyebutkan 2 kata. Ma-ma tu-run. Hal itu ia lakukan saat ia kehilangan aku yang sedang berada di rumah sakit.Â
Melahirkan adiknya. Ia berlari tak tentu arah di sekitar rumah sakit. Lalu, ia diarahkan ke kamar tempatku dirawat. Tangannya yang mungil merengkuh tanganku. Matanya entah menghadap ke mana saat itu. Masih teringat jelas momen itu di benakku. Air mataku tetap mengalir meski ku tahan.
Itulah saat pertama aku mendengar ia mengeluarkan kata-kata. Meski demikian, ia kembali tidak mengeluarkan kata setelah hari itu.Â
Ada yang kusadari, meski ia seolah tidak pernah menanggapiku sebelumnya, ia sesungguhnya memiliki perasaan.
Selama ini, ia hanya memiliki satu emosi. Sejak kecil, ekspresinya hanya tertawa-tawa saja. Tidak akan menangis meski terjatuh.
Ia asyik dengan dunianya sendiri. Matanya sering mengikuti ujung pinggiran meja atau benda berbaris yang ia susun.Â