Mohon tunggu...
Erny Kurnia
Erny Kurnia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang pembelajar komunikasi (media dan jurnalisme) di UGM

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Obyektivitas Sebuah Proses

16 Januari 2014   06:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

“Wartawan harus bersikap obyektif ketika memberitakan suatu peristiwa.” Kurang lebih ungkapan seperti itu sudah menjadi sesuatu yang tidak asing bagi pembelajar jurnalisme. Objektivitas terus digembor-gemborkan. Obyektivitas juga seakan dikultuskan. Semua terlihat dari banyaknya penelitian maupun riset dan juga pemaparan-pemaparan para pengajar jurnalisme yang membahas mengenai obyektivitas suatu media tentang pemberitaannya terhadap suatu peristiwa.

Sering digembar-gemborkan, sering pula dipertanyakan. Banyak pembelajar jurnalisme yang mulai bertanya-tanya tentang bentuk nyata obyektivitas. Jika obyektivitas dinilai sebagai tujuan pemberitaan, maka apakah benar seorang wartawan bisa bersikap obyektif? Realitas pertama sudah pasti melewati indra wartawan yang kemudian melewati pikiran dan baru terwujud dalam bentuk berita. Lalu proses melewati indra dan pikiran wartawan hingga menjadi second order reality tersebut tentu sangat rentan terhadap unsur subyektivitas wartawan. Hal tersebut yang mendasari banyak pembelajar jurnalisme bertanya-tanya apakah obyektivitas benar-benar ada? Ataukah obyektivitas hanya sekedar mitos belaka?

Andreas Harsono melalui website pribadinya di http://www.andreasharsono.net/2001/12/sembilan-elemen-jurnalisme.html mengemukakan bahwa dirinya yakin dosen-dosen komunikasi di Indonesia masih banyak yang memandang obyektivitas berita sebagai sebuah tujuan. Pemikiran semacam ini menurut Andreas sama seperti yang dipikirkan oleh seorang penulis bernama Leo Rosten. Rosten menulis sebuah buku sosiologi dan menggunakan istilah obyektif yang merujuk pada pemahaman bahwa wartawan seharusnya obyektif. Pemahaman Rosten terhadap istilah obyektivitas dalam konteks jurnalisme tersebut berbeda dengan pemahaman Lippmann. Lippmann, seorang wartawan terkemuka di New York berasumsi bahwa obyektivitas bukanlah tujuan, melainkan disiplin melakukan verifikasi.

Merujuk pada asumsi Lippmann, bila obyektivitas diletakkan sebagai tujuan memang nampak sebagai suatu hal yang mustahil. Wartawan sebagai manusia tentu mustahil dapat obyektif dalam menuangkan realitas pertama ke dalam bentuk berita, karena bagaimana pun juga realitas pertama akan menjadi realitas kedua setelah diinterpretasikan oleh wartawan. Padahal dalam proses interpretasi ini walau sudah merujuk pada fakta akurat tetap tidak terpisahkan dari pemikiran subyektif wartawan baik dalam pemilihan sudut berita, wacana, maupun tujuan berita tersebut dituliskan. Jadi wajar ketika banyak pembelajar jurnalisme bahkan wartawan merasa kebingungan dalam membayangkan bentuk nyata dari obyektivitas ketika ia diletakkan sebagai tujuan.

Kovach dan Rosenstiel mengemukakan bahwa obyektivitas seringkali dipandang oleh wartawan sebagai keseimbangan (balance), tidak berat sebelah (fairness) dan keakuratan. Padahal balance, fairness, dan keakuratan merupakan metode untuk mencapai obyektivitas. Mengutip dari website pribadi Andreas Harsono, Kovach dan Rosenstiel mengatakan bahwa distorsi bisa ditimbulkan oleh keseimbangan yang dianggap sebagai tujuan. Fairness juga bisa disalah artikan apabila dianggap sebagai tujuan sebab akan timbul pertanyaan, fair kepada sumber atau pembaca?

Kemudian Kovach dan Rosenstiel menyajikan lima konsep dalam melakukan verifikasi:

1.jangan menambah atau mengarang apa pun.

2.jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar.

3.Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase.

4.Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri.

5.Bersikaplah rendah hati.

Selain lima konsep di atas, Kovach dan Rosenstiel menawarkan beberapa metode konkrit dalam melakukan verivikasi. Metode pertama adalah penyuntingan secara skeptis. Kedua, memeriksa akurasi yang bisa dilakukan dengan mengacu pada daftar pertanyaan “accurancy checklist” yang dikembangkan oleh David Yarnold dari San Jose Mercury News. Metode selanjutnya adalah jangan berasumsi dan wartawan harus mendekat sedekat mungkin kepada sumber-sumber primer. Meskipun ada data yang akurat dan layak, wartawan tetap harus mengejar sumber primer yaitu saksi mata. Lalu metode terakhir yaitu pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil yang menggunakan pensil warna untuk mengecek fakta baik dari paragraf per paragrah hingga kalimat per kalimat.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa obyektivitas memang tidak bisa dipandang dan diletakkan sebagai tujuan. Hal ini disebabkan oleh obyektivitas yang akan menjadi ilusi belaka apabila dipandang dan diletakkan sebagai tujuan. Namun apabila obyektivitas dipandang sebagai proses, maka ia akan melahirkan suatu berita yang benar-benar menggambarkan realitas sesungguhnya dan disertai kebenaran yang fungsional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun