Mohon tunggu...
Erny Kurnia
Erny Kurnia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang pembelajar komunikasi (media dan jurnalisme) di UGM

Selanjutnya

Tutup

Puisi

IBU, Aku Tertekan !!!

17 Oktober 2010   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:22 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

IBU, Aku Tertekan !!!

Kepalaku pusing sekali. Tapi aku tidak sedang sakit atau kurang sehat. Aku sedang banyak pikiran. Setahuku begitu. Masih jelas mengiang dalam ingatanku. Kata-kata ibu beberapa bulan lalu dan tadi siang, selepas pulang sekolah. Memang masih jauh saat yang membuatku pusing itu. Sekitar 8 s/d 9tahun lagi, mungkin.

Kurebahkan badanku diatas kasur kapuk kesayangan yang mulai mengeras. Jauh dari kata ‘empuk’. Kata-kata ibu kembali datang dalam otakku.

“Yah nek anakku kudu sukses dhisik. Pokokke nek during duwe mobil rung oleh rabi,” kata ibu dengan senyum mengembang.

Aku tak tahu perkataan ibu itu benar adanya atau hanya guyon saja. Yang jelas kalimat sederhana itu cukup membuatku kepikiran. Bagaimana mungkin aku harus sekaya itu sebelum menikah? Yah kalau bisa, pasti aku lakukan. Tapi jika usahaku sia-sia? Apa aku harus jadi perawan tua?

Siang tadi aku membantu ibu berjualan makanan diwarteg sumber kehidupan kami. Aku masih sibuk mengelap piring-piring sehabis dicuci saat bapak-bapak itu bertanya tentangku pada ibu.

“Anaknya kelas berapa bu?”

“Masih SMA pak, kelas dua,” jawab ibu sumringah.

“Waduh, udah mau kuliah ya, tinggal setahun lagi,”

“Iya pak, mana dananya belum ada lagi,” keluh ibu.

“Asal nggak cepet-cepet ke KUA aja bu,”

“Nggak pak, masih mau kerja dulu,” sahutku.

“Bagus itu nduk,”

“Iya pak, ngapain cepet-cepet nikah? Nanti Cuma jadi seperti saya. Ntar nikahnya kalau sudah bisa bawa ibu ke Tanah Suci, iya tho nduk?”

Aku tercengang mendengar ucapan ibu. Dalam batin aku berkata, “tuntutan apalagi ini? Kemarin aku dituntut menjadi wanita sukses dulu, mampu biayai adik, punya kendaraan bagus, punya gubuk sendiri. Sekarang ibu kembali menuntutku untuk membawanya naik haji. Bukan karena aku keberatan, namun apa aku tidak keburu jadi perawan tua bila aku penuhi dulu semua kemauan ibu?

Ibu memang orang paling berarti dalam hidupku. Aku tahu persis ketraumaannya pada lelaki. semenjak ibu berpisah dengan ayah tiga tahun lalu ibu membiayai hidupku dan adikku seorang diri. Kemudian lelaki itu datang, dia ayah tiriku. Tak bisa banyak berharap padanya. Lelaki itu hanya seorang supir truk yang penghasilannya tak tetap, ditambah lagi dia bukan ayah kandungku, jadi wajar bila kurang ikhlas membiayaiku. Semenjak itulah, sikap antipasti ibu semakin menjadi. Bagiku ini tak adil. Apa aku harus membayar juga kekecewaan ibu terhadap lelaki? Apa aku dilarang berhubungan dengan lelaki? Oh ya, ada PR yang sangat berat untukku. Aku harus sukses muda. Aku harus jadi anak membahagiakannya dalam usia mudaku. Aku harus, aku harus.

Kini aku semakin sadar jika aku memang sedang berpacu pada waktu. Tak boleh bersantai. Tak boleh menyiakan waktu. Tak boleh leha-leha. Aku harus usaha keras untuk hidupku.

Namun maaf ibu, sejujurnya aku tertekan dengan impianmu.

[caption id="attachment_292567" align="alignnone" width="212" caption="google"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun