Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menyikapi Hobi Main dan Kecerdasan Emosi Anak Laki-Laki

12 Mei 2024   10:36 Diperbarui: 12 Mei 2024   11:08 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Depositphotos

Nobita sangat perasa bahkan terhadap binatang sekalipun. Tak jarang dia rela berkorban dengan mencicipi masakan Jaiko (adiknya Giant) yang jelas-jelas tidak enak, hanya karena kasihan. Atau ketika di satu episode dia sadar bahwa dengan nilai yang jelek dia hanya akan membuat Shizuka sengsara jika menikah dengannya nanti, lalu akhirnya Nobita menjauh dari Shizuka.

Anak Laki-laki Memang Cinta Main

Iya, tidak salah lagi. Anak laki-laki memang cinta main. Saya bisa buktikan itu dengan pengalaman tahun-tahun panjang di mana saya tumbuh dengan dua orang adik laki-laki yang sekarang sudah menikah semua. Ataupun dengan anak laki-laki saya yang paling bontot, saat ini dia baru 7 tahun alias kelas satu SD.
Seperti yang saya ceritakan dalam tulisan saya yang terdahulu dengan Judul Membangun Komunikasi yang Baik Dengan Anak Laki-Laki, memang otak anak laki-laki sebelum 18 Tahun cuma isinya main dan main lagi.

Tidak bisa dipaksakan, mungkin inilah yang disebut kodratnya. Sehingga tak heran jika kita menemukan banyak fakta lapangan bahwa prestasi akademik anak laki-laki di bawah anak perempuan. Atau jika pun ada yang memang bagus prestasi akademiknya, bisa dikatakan satu di antara sekian.

Kecerdasan Emosional

Kadang kita lebih banyak fokus pada kecerdasan akademik semata, sehingga banyak orang tua suka sekali ngomelin anak laki-lakinya saat nilai nya di bawah rata-rata. Akhirnya, banyak kasus anak laki-laki ini justru malas di rumah, seakan pulang akan menambah beban di kepalanya. Seakan bertemu ibu atau ayah adalah moment menyebalkan karena akan mendapatkan komentar yang sama, 'kok nilainya jelek' atau 'mau jadi apa kamu?'

Bapak ibu please, saya meskipun perempuan pernah merasakan tekanan itu, padahal rangking kelas dari SD sampai SMA selalu 1 sampai 5. Apalagi kita memberikan tekanan tuntutan akademik itu kepada seorang anak laki-laki yang jelas-jelas para psikolog mengatakan bahwa 'otak anak laki-laki itu memang main sebelum 18 tahun'.

Tidak sadarkah kita, di samping sekadar nilai akademik, ada kecerdasan emosional yang sebenarnya lebih banyak dimiliki anak laki-laki ini?


Seperti yang saya alami sendiri, si bontot usia 7 tahun baru kelas 1 SD di mana dia sangat suka berhitung namun paling malas disuruh menulis. Berhitung dan membaca adalah favoritnya, tapi menulis sebaris kalimat bisa berjam-jam lamanya hingga kadang saya ngantuk dan akhirnya cuma pasrah.


Pernah suatu ketika gurunya curhat pada saya dan menyampaikan, 'bu anaknya cepat sekali kalau berhitung, tapi kalau sudah tiba waktu menulis di kelas, dia malah berkeliaran ke meja-meja temannya untuk ngajarin mereka tulisan yang bener'.


Saat mendengar itu saya sebenarnya ketawa sendiri, membayangkan si bontot ini seperti pengawas kelas, padahal tugasnya sendiri belum selesai. Atau ketika pulang sekolah dia curhat diomelin bu guru karena PR menulis belum jadi, saya hanya tersenyum dan bilang 'risiko ga mengerjakan tugas'

Namun dibalik hal itu, ternyata ada cerita yang luar biasa menggugah hati saya sebagai seorang ibu. Petugas sekolahnya yang kebetulan perempuan, berterus terang ketika saya akan memindahkan mereka sekolah.


Beliau mengatakan, bahwa setiap pagi anak saya ini akan membawakan mbah (panggilan petugas sekolah itu) sebiji buah jeruk, kemudian ketika jam istirahat akan memijit pundaknya dengan semangat. 'Siapa lagi yang akan menemani saya bercerita sambil memijit pundak saya kalau hafidz pindah?' komentarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun