Mohon tunggu...
Erniwati
Erniwati Mohon Tunggu... Penulis - ASN Yang Doyan Nulis Sambil Makan, Humas Kanwil Kemenkumham NTB

Traveling dan dunia tulis menulis adalah hal yang paling menyenangkan. Memberi manfaat kepada masyarakat melalui edukasi adalah hobby.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Dilema Pilih Nyicil KPR atau Ngontrak Rumah?

30 April 2024   19:49 Diperbarui: 1 Mei 2024   07:35 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Gambar diolah dari Canva.com

Tadinya saya pikir judul yang tertulis di headline Kompasiana itu sebuah artikel yang mengulas kekurangan dan kelebihan dari pilihan Nyicil KPR ataupun Ngontrak Rumah. Tetapi, itu pengumuman untuk Topik Pilihan. Nah, Kebetulan sekali saya pernah mengalami dua-duanya, jadi bolehlah saya berbagi cerita.

Dulu sekitar 12 Tahun yang lalu, ketika saya baru saja 5 Tahun menjadi PNS, memiliki rumah BTN adalah sebuah mimpi. Mimpi dari kecil bahwa ingin sekali punya rumah di kompleks perumahan yang bernama BTN. Dalam bayangan saya jendela persegi panjang, dengan tampilan rumah minimalis yang rapi, taman kecil di depannya dengan beranda dan kursi santai pula.

Singkat cerita saya pun memutuskan menyekolahkan SK (bahasa tren PNS untuk ambil utang bank) ke salah satu bank yang terkenal dengan akad KPR0nya, kebetulan ini bank konvensional. Karena saat itu masyarakat belum terlalu melirik bank syariah yang memang masih sedikit sekali di tempat saya. 

Akhirnya setelah akad, kunci rumah pun saya pegang. Dengan tekad mewujudkan manisnya mimpi, segera saya pun pindah dari rumah di kampung ke rumah baru, saya tata sedikit demi sedikit sesuai mimpi saya. Terasa sangat bahagia karena sudah punya rumah sendiri meskipun kredit.

Ada komitmen yang saya pegang saat itu, saya lebih memilih makan seadanya daripada tidak mandiri dalam mengatur hidup sendiri, maka apa pun yang terjadi saya harus tinggal di rumah sendiri. Karena rumah di kampung tanah mertua saat itu. Rumah milik sendiri namun masih ada hutang budi yang terasa berat, tanah adalah hasil diberi.

Selama 2 tahun pertama menyicil, cicilan memang flat atau sama. Namun masuk tahun ketiga cicilan bertambah sebesar Rp 250.000 per bulan, yang cukup membuat saya merasa berat. Eh ternyata bukan saya sendiri, beberapa orang di kantor saya yang juga mengambil KPR di bank tersebut bahkan ada yang naik hingga Rp 450.000 ribu per bulan cicilannya. Bukan angka kecil untuk kami yang PNS biasa.

Meskipun saya sudah paham itu akan terjadi, namun saya berpikir dengan status PNS ini saya tidak bisa mengandalkan spekulasi pihak bank yang menyatakan "apabila suku bunga turun, bisa jadi cicilan pun berkurang".

Yang sangat saya sadari adalah gaji tetap maka pengeluaran pun harus dapat dipastikan! Alhasil saya pilih take over ke bank lain yang menurut saya lebih friendly, sekaligus karena ada kebutuhan usaha untuk kompensasi lagi ke bank ini.

Akhirnya seluruh utang saya pun pindah ke bank konvensional baru dengan mudah, dengan cicilan baru yang tetap selama 2 tahun.

Namun mendekati akhir 2 tahun, saya mulai tertarik dengan sistem yang di tawarkan oleh Bank Syariah. Sedikit penjelasan yang saya dengar dari sales marketingnya yang saat itu datang ke kantor. Singkatnya, saya paham dan mau beralih ke Bank Syariah meskipun saat itu cicilan lebih mahal Rp 200.000 dari tawaran bank lain, namun kepastian pengeluaran setiap bulan akan lebih membuat saya nyaman. karena cicilan ini tidak akan berubah hingga selesai pembiayaan (kredit).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun