Mohon tunggu...
Erni Wardhani
Erni Wardhani Mohon Tunggu... Guru - Guru, penulis konten kreator (Youtube, Tiktok), EO

Guru SMKN I Cianjur, Tiktok, Youtube, Facebook: Erni Wardhani Instagram: Erni Berkata dan Erni Wardhani. Selain itu, saya adalah seorang EO, Koordinator diklat kepala perpustakaan se-Indonesia, sekretaris bidang pendidikan Jabar Bergerak Provinsi, Pengurus Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat, Pengurus Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat, Pengurus IGI kabupaten Cianjur, sekretaris Forum Kabupaten Cianjur Sehat, Founder Indonesia Berbagi, Tim pengembang Pendidikan Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI Provinsi Jawa Barat, Humas KPAID Kabupaten Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Upin Ipin, Kampung Ciwalen, Para Petinggi, dan Toleransi

6 Februari 2017   11:55 Diperbarui: 6 Februari 2017   12:41 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Suatu hari, karena saya jenuh dengan berbagai tontonan di stasiun televisi, iseng saya alihkan ke stasiun yang jarang sekali dipilih. Ya, saya menonton Upin Ipin, serial kartun negara tetangga, yang konon penyebarannya sudah merambah ke berbagai negara, belakangan saya tahu, tim kreatif penulis Upin Ipin adalah anak dari pasangan selebritas kita, Ikang Fawzy dan Marisa Haque. Ada yang menarik tatkala menonton film kartun Upin & Ipin seusai sholat maghrib ini.Di bagian awal, terdapat sepenggal cerita bahwa di Kampung Durian Runtuh, kampungnya Upin & Ipin, akan diadakan pertunjukan Opera China. Acara ini adalah acara tahunan yang diselenggarakan untuk mengenalkan budaya China pada masyarakat melayu, sebab di Malaysia, etnis Tionghoa cukup banyak. Selain ada pertunjukan drama, di sana juga ada pasar malam, seperti biasa, banyak orang jualan.Pada hari H-nya, tua muda, pria dan wanita hadir dalam meramaikan acara tersebut. Sungguh semarak. Saat Upin & Ipin, yang pada saat itu didampingi Kak Rose dan Opa-- datang di lapangan pertunjukan itu, anak kembar tersebut bertemu dengan Mei mei, gadis sepermainan Upin & Ipin yang beretnis Tionghoa, sedang makan sate, dengan begitu nikmatnya, sehingga teman temannya banyak yang ingin mencoba. Mei mei makan sate, lebih spesifik: sate babi.
Mei-Mei terlihat lahap sekali.

Di sinilah menariknya... Saat Upin dan Ipin melihat sate yang dimakan, Mei-Mei nampak lezat dan bilang bahwa mereka ingin mencicipi sate tersebut, Mei-Mei langsung heboh,
"Heeeeiiii! Tak boleh, tak boleh. Kau orang tak boleh makan ini, maaa..." Upin dan Ipin mengeryit, "Kenapa tak boleh?"
Gadis China berkacamata itu terlihat bingung, berfikir, sebelum akhirnya berkata, "Emm... Tak tau! Pokoknya kata Mama saya, orang melayu tak boleh makan daging ni..." Saya tentu paham yang dimaksud Mei-Mei di film ini, pastilah sate babi. Babi adalah makanan haram untuk orang Islam. Hanya saja, mungkin karena masih TK, ia tak bisa menjelaskan maksudnya dengan gamblang kepada kedua sahabat kembarnya itu.
Luar biasa! Itulah toleransi. Dan, anak sekecil itu bisa mempraktikkannya.

Dengan menghormati keyakinan dan hak orang lain, maka takkan ada ribut di sana sini.  Lain Upin Ipin, lain pula kampung kelahiranku, kampung Ciwalen, kampung kecil yang terletak di kota Garut, 67 kilometer dari Bandung, atau sekitar 130 Kilometer dari kota Jakarta. Kota yang dikelilingi oleh 3 gunung besar, Gunung Guntur, Gunung Karacak, dan Gunung Cikuray. Di sanalah saya dilahirkan, dan yang paling berkesan dengan kampung kelahiran adalah, tertanamnya toleransi antarsesama.  Saya tinggal di Kampung Ciwalen, sejak lahir sampai kelas 3 SMP, untuk selanjutnya, pindah ke kampung lain, tepatnya di belakang kantor Pemda Garut, namun kenangan akan kota kelahiran, begitu paling membekas,sampai saya sekarang menikah, dan mengembara di Kota Cianjur. Betapa kerukunan antartetangga sangat terasa, padahal di kampung Ciwalen begitu beraneka ragam, baik itu suku, agama, etnis. Saya masih ingat, betapa orang orangnya saling menghormati dan menghargai...dapat dibayangkan, sekelompok minor kaum etnis, dapat dengan nyaman berada di lingkungan mayoritas, terbukti dengan bertahannya mereka karena selalu tolong menolong, itu yang dapat ditangkap mata saya, yang pada saat itu berumur 13 tahunan. Betapa suku pendatang (Batak, Jawa nonbarat, Sumatra, Sulawesi) dapat berbaur dan bersatu, dengan segala keunikannya. Ada Ma Edoh, pecandu film dan musik India, yang dengan bebasnya menyetel musik musik irama Gangga, atau Om Isak, pendatang asal Ambon yang selalu bermain band, Pak Taslim, ustadz dari Aceh yang selalu mengajak ke mesjid dengan suara khasnya, atau Bang Boy, pedagang kain asal Batak. Semua nampak dapat berkolaborasi dalam keharmonisan. Bagaimana Om Isak dapat merayakan Hari Natalnya, atau pasangan chines "Chi Yuyun dan Bien sie Liem" dapat menikmati imleknya, dan tentu saja, Ceu Edoh, Si pecandu film India dengan Hari Lebarannya.... Memang itu secuil contoh kecil rekaman manis tentang toleransi. Tidak pernah terdengar adanya hal hal yang membuat dada dan nafas menjadi sesak, atau telinga menjadi merah, atau darah menjadi naik mendadak. Beda dengan sekarang. Semua yang berbau toleransi seakan semakin menjauh, menjauh dari negeri kita ini.  Saya dapat rasakan suasana di negeri ini jadi panas. Salah satunya karena tidak adanya lagi toleransi. Tak mau toleransi. Tak mau menghargai hak dan keyakinan orang lain. Akhirnya, sudah seperti yang kita lihat saat ini. Rusuh di mana-mana. Media sosial jadi ajang saling umpat, saling ejek, saling hukum. Ironisnya, semua kegerahan ini ternyata dimulai oleh sikap tak elok dari oknum petinggi negara ini. Dia yang dianggap sebagai panutan. Dia yang ekstravaganza dengan janji-janji, padahal keinginan rakyat, sangatlah sederhana...sederhanakanlah janji janji. Dia yang diharapkan menjadi contoh untuk masyarakat kecil bagaimana hidup bermasyarakat. Dan dia yang selalu berteriak, "Bhineka Tunggal Ika." Sudah nonton Upin & Ipinkah, Pak? Penulis, Anggota Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun