Inner speech. Pernahkah Anda lakukan pada waktu kecil dulu? Berbicara sendiri seolah sedang bercerita atau mendongeng. Masih teringat di benak, saya sering sekali bermain main seorang diri dengan setumpuk boneka bongkar pasang (dulu lebih dikenal dengan nama boneka bepe), dengan rumah rumahan yang berasal dari dus dus bekas odol, sabun, korek api, yang disusun sebagaimana rumah rumahan aslinya. Meskipun sendirian, tapi saya sangat menikmati dongengan sendiri. Bahkan sering, dongen hari ini, akan berlanjut cerita untuk hari besoknya.Â
Ternyata inner speech, adalah cikal bakal dunia tulis. Apakah Tulis menulis itu dipengaruhi bakat? Saya tidak yakin dengan pertanyaan tadi. Saya bahkan cenderung lebih setuju kepada pernyataan pelukis legendaris Indonesia, Barli Sasmita Winata yang menyatakan bahwa yang mementukan adalah kerja keras, bakat hanya 1% saja. Saya kira itu tidak hanya berlaku untuk dunia lukis melukis saja, tetapi tulis menulis juga. Pelukis yang lainnya, Hendra Gunawan juga menyatakan bahwa bakat adalah panggilan jiwa, di manapun kalian berada, kalau kau terpanggil, maka di situlah bakatnya. Berguru dari Hendra Gunawan, yang juga belajar melukis secara autodidak, bahkan karena jiwa sosialnya yang tinggi membawanya ke jeruji besi, namun beliau berpantang untuk menyerah. Di balik jeruji pun, dia memanfaatkan waktunya dengan melukis apapun yang ada disekitar. Termasuk menggunakan arang untuk corat coret, ataupun bekas cat yang tidak terpakai.  Dari hal tersebut, dapat saya ambil simpulan bahwa kita bisa karena adanya pembiasaan. Jangan takut karena merasa tidak punya bakat, kita menyerah begitu saja. Tulisan yang jelek adalah tulisan yang tidak selesai (Ini perkataan Ketua KPLJ, Idris Apandi, M.Pd.), dan itu benar adanya.  Sering kali banyak teman seprofesi, yang bertanya, bagaimana dan kapan menulis yang baik itu. Sebenarnya saya merasa prihatin, karena orang yang bertanya itu orang yang seringkali mengikuti pelatihan menulis. Saya jadi teringat ucapan Arswendo Atmowiloto, bahwasanya saat yang paling tepat untuk menulis itu,ya sekarang.... Merujuk dari hal tersebut, saya jadi merasa ada unek unek kepada pemerintah, mengapa orogram Gerakan literasi Nasional itu objeknya adalah siswa, atau siswa dengan guru. Mengapa objek GLN itu bukan guru dulu. Guru yang harus dipompa supaya ada semacam gairah untuk membaca dan menulis.  Sebanyak 62% jumlah guru di Indonesia disinyalir tidak dapat menulis. Artinya, guru yang tidak dapat menulis, dapat dipastikan kurang membaca. Nah, bagaimana guru tersebut dapat menggerakkan siswanya supaya gemar membaca, kalau dia sendiri tidak gemar membaca. Sebuah gerakan yang akan menjadi wacana semata menurut saya. Terakhir, saya sebagai ketua MGMP SMK kabupaten Cianjur, mencoba mewujudkan keinginan anggota untuk mengadakan pelatihan menulis artikel. Saya coba menggandeng Balai Bahasa Jawa Barat, dan SKB (Sekolah Kewajaran Bersikap). Ternyata hasil dari pelatihan itu, terdapat dua kata kunci supaya kita mau menulis. Moh. Syarif hidayat menyatakan, untuk menulis cukup 2 JT, yaitu jangan banyak mikir, dan jangan mengeritik. Tulis. Sedangkan Kepala SKB berpendapat, kita narsis karena kita eksis, maka berkaryalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H