Mohon tunggu...
Erni Wardhani
Erni Wardhani Mohon Tunggu... Guru - Guru, penulis konten kreator (Youtube, Tiktok), EO

Guru SMKN I Cianjur, Tiktok, Youtube, Facebook: Erni Wardhani Instagram: Erni Berkata dan Erni Wardhani. Selain itu, saya adalah seorang EO, Koordinator diklat kepala perpustakaan se-Indonesia, sekretaris bidang pendidikan Jabar Bergerak Provinsi, Pengurus Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat, Pengurus Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat, Pengurus IGI kabupaten Cianjur, sekretaris Forum Kabupaten Cianjur Sehat, Founder Indonesia Berbagi, Tim pengembang Pendidikan Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI Provinsi Jawa Barat, Humas KPAID Kabupaten Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hendaknya Orangtua Ta'aruf kepada Kaum Digital Natives

17 Januari 2017   06:18 Diperbarui: 17 Januari 2017   06:55 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebagai ibu dari seorang anak yang mulai beranjak remaja, sudah tentu selalu ketar ketir kalau anak telat pulang. Berbagai pikiran parno pun berkelebatan. Maklum, remaja jaman sekarang, rentan sekali dengan sesuatu yang negatif. Tak sedikit, karena salah gaul, usia muda sudah terkena narkoba, seks bebas, tawuran, dan berbagai perbuatan negatif lainnya. Saking parnonya, seringkali curiga kalau pintu kamar tertutup rapat. Dengan sedikit dipaksa, selalu kubuka, dan apa yang kulihat, hanya bermain internet.

Barangkali menurutku internet sedikit lebih aman dibanding hal negatif yang kusebutkan di atas tadi. Padahal, kalau mau jujur jujuran, dampak dari bermain internet tidak kalah mengerikan. Yang kutahu, banyak sekali dampak negatifnya, di antaranya, menimbulkan kecanduan (dan ini memang sudah terbukti), menyebabkan berbagai macam penyakit, dimulai dari penyakit mata, akibat terlalu banyak menatap layar monitor, lalu ambeien, penyakit radang sendi pergelangan tangan, terganggunya pola makan, bahkan dapat memancing tindak kriminal, mulai dari meretas, mencuri chip dll.

Namun, perlu diingat, banyak juga sisi positifnya dalam bermain internet, bahkan pada saat anak bermain game sekalipun. Dapat disebutkan, pengguna internet akan lebih cepat menerima informasi dari manapun, selalu konsentrasi, belajar bermain strategi, karena seperti yang kita tahu, bahwa setiap permainan di internet itu memiliki tingkat kesulitan yang berbeda beda, selain itu, menurut penelitian yang dilakukan di Manchester University dan Central Lanchashire University menyatakan bahwa orang yang bermain game 18 jam seminggu atau sekitar dua setengah jam sehari dapat meningkatkan koordinasi antara mata dengan tangan. Semakin mereka banyak berhadapan dengan layar internet, dapat dipastikan, kemampuan membaca akan lebih baik, dan pengetahuan tentang komputer/gawai akan lebih banyak. mengingat pengguna akan berusaha mencari informasi tentang spesifikasinya.

Melihat data di atas, sebagai orang tua, seharusnya kita lebih jeli untuk melihat sisi positifnya, jadi biarkan anak anak bermain atau menggunakan internet, tapi dengan bimbingan kita, dengan perhatian supaya hal yang positif di atas, justru dapat membantu menyatukan dua generasi yang berbeda. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan adanya kesadaran orang tua untuk melek IT. Sudah saatnya kita para orang tua untuk mengikuti perkembangan teknologi dan tidak memaksakan diri untuk mengikuti cara-cara lama.

Jangan biarkan anak sendirian tanpa ada bimbingan. Perlu ada cara-cara baru yang membuat mereka juga belajar dan memahami akan pentingnya teknologi dalam kehidupan, karena jaman sekarang adalah jaman serba digital, namun dengan cara yang arif.

Marc Prensky, penulis buku Digital Game-Based Learning,mengatakan bahwa kehadiran teknologi digital membuat dunia pendidikan terbelah dalam dua kelompok besar, digital immigrants dan digital natives. Tentu saja orang tua, dalam hal ini berperan sebagai generasi digital immigran. Digital immigrants, sesuai istilahnya, adalah kaum pendatang di era digital. Mereka ini generasi yang lebih tua, lahir sebelum berkembangnya teknologi komputer, internet, apalagi smartphone.

Kita dihadapkan langsung dengan anak (Digital natives), yang notabene berbicara dengan bahasa baru yang memang sama sekali berbeda dan tentunya sulit sekali dipahami oleh para Digital Immigrants, sehingga tidak jarang para Digital Native tidak mengerti apa yang dibicaran oleh para Digital Immigrant, begitu pula sebaliknya.

Beberapa isu yang dikemukakan oleh Prensky terkait dengan cara/proses berfikir para Digital Native, antara lain: Dikarenakan para Digital Native menerima informasi dengan sangat cepat, sehingga mereka beradaptasi dengan cara dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multi task). Mereka lebih memilih untuk melihat representasi dari suatu fenomena untuk kemudian mendeskripsikannya dengan kata-kata. Mereka cenderung bekerja secara random dan lebih memilih untuk bekerja dalam tim. Serta mereka lebih menyukai suasana yang serius namun santai. Digital Natives lebih memilih membaca blog, atau media online daripada buku, surat kabar atau majalah. Mereka lebih memilih bertemu orang lain secara online sebelum bertemu secara langsung. Interaksi sosial anak-anak ini, termasuk pertemanan dan aktivitas kemasyaraktan dimediasi oleh teknologi digital.

Sedangkan para Digital Immigrant, lebih kaku, lamban, menginginkan tahapan-tahapan yang jelas (tidak random), focus, lebih individual dan suoer serius. Prensky mencontohkan para Digital Immigrant tidak percaya bahwa siswa dapat belajar di depan televisi atau sambil mendengarkan musik atau mungkin sambil chatting dengan smartphonenya hanya karena para Digital Immigrant tidak dapat melakukan hal-hal tersebut.

Apakah para Digital Native harus belajar cara lama ataukah para Digital immigrant belajar cara baru?? Langkah yang paling mungkin untuk dijalani adalah yang kedua. Tidak mungkin kita dapat “memaksa” para Digital Native belajar cara lama, selain karena struktur otak mereka telah berbeda dengan kita, saat ini hampir tidak mungkin bagi kita untuk menghambat atau mengontrol dengan ketat perkembangan teknologi yang ada. Dengan mengambil langkah kedua maka sebagai orang tua, kita harus mempertimbangkan hal-hal terkait dengan metodologi dan konten yang akan kita berikan pada para Digital Native.

Sebagai kaum Digital Immigrants, kita harus banyak belajar dengan mereka, sang penduduk asli, The Digital Natives. Jangan remehkan mereka dan berupayalah untuk mendekati, memahamj, mengenal, agar mengetahui apa yang mereka lakukan di dunia maya. Maka, hendaknya kita taaruf kepada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun