Ketika itu, hujan turun dengan sangat deras, walau tanpa dibarengi petir. Suasana menjadi lebih gelap dari waktu sesungguhnya. Langit begitu edan mencurahkan semua isi perutnya. Dari satu buliran ke buliran yang lain demikian rapatnya, seakan air hujan yang tertumpah membentuk milyaran untaian tali panjang, menjulur dari langit ke tanah.
Hujan semakin deras, sebelum kereta yang kautumpangi berhenti di stasiun yang ada aku yang menunggu untuk menjemputmu. Menjemput dengan segenap perasaan. Aku memilih berdiri di ujung peron untuk menanti kedatanganmu dengan sepasang mata yang cemas dan membiarkan hujan tempias di wajah dan tubuhku, sebab tak mau melewatkan dan demikian ingin membingkai dalam ingatan setiap detik pertemuan pertamaku denganmu saat itu. Perempuan yang selalu saja membuat lidahku kelu, tak mampu untuk berkata-kata.
Sesekali orang-orang meneriakiku agar aku duduk pada bangku kosong di samping mereka lantaran khawatir melihat pakaianku yang membasah perlahan, untuk kemudian kuyup. Namun aku hanya membalas mereka dengan sebuah senyuman. Sekali saja. Dan mereka langsung diam, walau sedikit mengernyitkan kening. Semoga dari senyumanku itu mereka dapat membaca cerita, kalau orang yang sedang kutunggu kedatangannya itu adalah orang yang sangat kucinta.
Lalu aku, ketika akhirnya menyimak keretamu datang melambat dari kejauhan dengan lampu-lampunya yang nyala menembus buliran air, jantungku seketika degap merancu. Mengencang. Aku mendengar suara-suara yang sangat keras muncul dari dalam dadaku. Lebih keras daripada suara hujan yang berkertapan di atas langit-langit peron, bahkan juga lebih tak beraturan daripada derak gerbong kereta yang membawamu pulang itu. Yang akhirnya satu persatu melintas jelas di depanku, dengan kaca-kaca pintu yang seolah berkata, “Tebak, dari mana akan keluar orang yang kau tunggu?”
Aku mencarimu dari satu pintu ke pintu yang lain, tapi tak kutemukan. Mungkin karena kau tak benar-benar pulang , atau mungkin kau lebih dulu turun sebelum aku sampai pada pintu di mana engkau telah keluar berjalan.
Tap!
Dan akhirnya, tepukan yang hangat dan lembut itu mendarat juga di pundakku – tepukan tanganmu yang tetap sama seperti dulu. Seketika kerinduanku akan sentuhmu lunas. Sebegitu yakinnya aku dengan sentuhanmu. Ketika itu aku begitu lama menatap ke kedalaman matamu, tapi kau hanya tersenyum. Senyum yang sangat indah, sehingga mampu menelusuri denyutan jantungku. Akhirnya aku menjadi sadar kalau saat itu kausudah tak lagi sama dengan Acil yang kukenal dulu. Entah kenapa, rasanya ketika itu aku jadi ingin sekali menundukkan kepala usai melihat caramu membalas tatapan mataku, seperti bagaimana dulu aku kaupaksa untuk diam dan khidmat menyimak kesahajaan kata juga kerendahhatianmu. Dan saat itu, sekali lagi aku memutar cerita yang pernah kita lalui dalam kepalaku – mencoba menemukan kembali alasan kenapa aku ingin sekali berada di sampingmu.
“Kita naik becak ....”
Kau cuma menatapku. Bak ingin menjawab: terserah kau.
“Jalan saja, ya?”
“Aku menurut saja ....”
“Hitung-hitung menyusuri jalan kenangan.”