[caption caption="Gara-gara Gawai Suami"][/caption]
Entah setan mana yang kembali menggagahi pikiranku. Tiba tiba saja, aku menjadi istri yang kepo lagi. Gawai milik suami bergetar. Tak biasanya aku masih belum tidur, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Terbalik, justru suami yang sudah tertidur pulas, sepertinya dia lelah. Melihat- lihat gawai milik orang lain, anti bagiku, tak terkecuali milik suami. Tapi entah untuk malam ini. Kebiasaanku kumat. Pelan kuangkat dan kulihat siapa pengirim pesan itu.
Neng. Begitu nama yang tertera di layar gawai. Otakku berhenti beberapa detik sekadar ingin memastikan siapa dan yang mana pemilik nama itu. Ada beberapa neng. Neng yang teman seprofesinyakah, Neng teman SMPnya, SMA, kuliah...atau Neng teman kantorku?.... Aku masih gagal paham. Penasaran, aku klik pesan japrinya.
"Aa...besok, kit4 bis4 ketemu4n l4gi, k4n...Neng rindu...ken4p4 d4ri t4di ditelpon g4k di4ngk4t 4ngk4t?"
Deg. Jantung serasa berhenti. Rasa eneg mulai menyebar di tubuhku, begitu membaca pesan dari wanita yang kupastikan pacar gelap suamiku itu. Pelan nama tersangka mengerucut, begitu melihat gaya tulisan pesan tersebut. Pastinya, ini Neng yang baru. Anak keluaran kemarin sore, yang bahasanya masih alay...cabe-cabeankah?
Aku geram. Kutengok suamiku yang tidur sangat pulas. Dengan tenang, aku berinisiatif untuk membalas pesan cabe-cabean itu.
"Iya, Neng, tadi Aa ada tamu..." Begitu balasan pesanku.
Selang dua menit, dia membalas lagi.
"Kok p4nggil Neng, bi4s4ny4 p4nggil s4y4ng..."
Aku berdalih grogi karena ada istri di dekatku. Aku minta fotonya, kubilang kangen banget. Benar saja, dia dengan cepat dan lincahnya mengirimiku foto. Shit...wajahnya yang masih belia terlihat dari lingkaran matanya yang mulus tanpa kendur. Kulitnya mulus, bibirnya sensual penuh gairah, dan yang bikin aku naik darah adalah cara berpakaiannya yang kurang sopan. Berfoto dengan memakai underrock sebadan warna kulit, memperlihatkan sembulan indahnya. Neng memang cantik, lincah dan masih muda. Aku menyetop pembicaraan, karena takut suamiku bangun, setelah janjian untuk ketemuan di Mal Breeze, lantai atas, pas food court. Kuperintahkan jangan menghubungi lagi sampai ketemuan besok, pukul 09.30.
Ingin kubanting gawai suamiku. Namun kuurungkan. Kukirimkan foto cabe cabean cecunguk itu ke gawai milikku, untuk selanjutnya, kuhapus chat. Done!
Pelan, kusimpan gawai suami di tempat semula, dan merebahkan tubuh di sampingnya. Pikiran membara, dan begitu saja bersekongkol dengan sisi gelapku. Kupersiapkan rencana sedemikian rupa sehingga tidak ada nama Neng lagi di gawai suami. Sambil terpejam, pikiranku melayang ke beberapa tahun silam, di mana sebuah nama telah menjadi korbanku. Haruskah kuulangi lagi...ya, tentu saja harus, supaya wanita wanita begundal seperti itu akan lenyap di muka bumi. Masih kuingat erangan Soraya, wanita yang hendak merebut Kang Pri dariku. Darah mengucur deras dari lengan mulusnya. Aku memang piawai memainkan victorinox, pisau lipat kecil sebagunaku untuk melukai orang orang yang menyakitiku. Tak perduli Soraya menjerit jerit kesakitan, hingga akhirnya terkapar. Dan kutinggalkan dengan baju yang bersimbah darah, dengan tenang. Dan kini, ada cecunguk kecil yang berusaha menarik berahi lelakiku.
Waktu begitu lamban bergulir. Seperti biasa suami pergi setelah sarapan pagi sekitar pukul 06.30. Aku bergegas mempersiapkan diri untuk menemui Neng. Semua sudah fix, tinggal kubawa pisau lipat.
Aku mengambil kotak kecil, tepatnya peti jati ukir, tempat kusimpan pisau lipat kecilku. Pelan kubuka, kilatan pisau lipat tertimpa cahaya matahari yang mulai masuk. Benda keramat itu masih tersimpan di dalam peti beralaskan kain putih dan beberapa lembar kapas yang belum sempat kuganti. Terlihat di beberapa titik bekas darah yang masih menempel. Aku menyeringai begitu mencium bau darah perempuan begundal yang pernah kulukai itu. Membuat otakku fresh. Bergairah. Kuusap pisau lipat dengan ujung jari telunjuk, pelan...sambil membayangkan wajah cecunguk Neng.
Kupejamkan mata sambil membayangkan bagian mana yang akan kusayat duluan. Tangannya, kah...seperti halnya Si Soraya dulu, ataukah akan kumulai dari wajahnya yang mulus itu. Hidung bangirnya, lalu kusayat sayat pipinya yang ranum, dan mungkin kuakhiri dengan mencongkel bola matanya yang mbelo. Aku terbahak sendiri, membayangkan cabe cabean itu mengerang kesakitan. Membayangkan kucuran darah mudanya yang mengalir menganak sungai di tubuhnya yang indah. Indah!!! Aku sakit hati.