Tekad sudah bulat. Selepas jam kerja dan menyambut buka puasa pertama, segelas es cincau dari pedagang depan kantor kelurahan yang kondang nikmat itu harus dibawa pulang. Hmm ... jam kerja yang ternyata tidak mirip jam kerja. Sudah mendekati magrib, setengah jam lagi, mudah-mudahan masih bersisa. Hari ini pantas dirayakan. Ya Allah, antrian mengular! Masih bersisa kah? Deg-degan juga. Magrib! Ini gelas terakhir yang dijual. Alhamdulillah, akhirnya ... tapi koq ... Gadis kecil disebelah melirik penuh harap. Segenggam uang ribuan ditangan. "Pun telas, nduk!" kata si penjual cincau. Tapi tatapan gadis cilik ini tak beralih. Luluh! Terulur gelas itu dan gadis cilik nampak gembira. Tangan kanannya terulur menerima segelas es cincau dan tangan kirinya mengangsurkan uang ribuan dalam genggamannya. Spontan menggeleng dan segera beranjak, pasrah ... "Nak mas, ngunjuk riyin. Ning pethak, purun?" si penjual cincau memanggil. Alhamdulillah, mungkin rejeki hari ini memang bukan meneguk es cincau yang nikmat itu. Segelas air putih pun tidak apa ... Hmmm ... masih terbayang segelas es cincau itu. Astaghfirullah ... puasa puasa!!! Telepon mungil di sudut kubikel berdering, suara cempreng meriah dari kubikel seberang berkabar "Cek rekening deh! Pak Bos baik banget. Ada sedikit sangu untuk kita-kita. Cukuplah buat jajan selama Ramadhan!! Asyik khan?" Subhanallah ... segelas es cincau itu ternyata ditukar dengan rejeki yang tidak terduga. Kebesaran-Nya apalagi yang kau dustakan? Note: "Pun telas, nduk!" = "Sudah habis, nduk!" "Nak mas, ngunjuk riyin. Ning pethak, purun?" = "Nak mas, minum dulu. Tapi air putih, mau?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H