Mohon tunggu...
Ernita Halim
Ernita Halim Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapakah Pribumi? Apakah Kita Masih Harus Menggunakannya?

4 September 2015   11:33 Diperbarui: 4 September 2015   11:58 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah Anda pernah bertanya pertanyaan ini kepada diri sendiri? Apa yang muncul dalam pikiran Anda ketika mendengar atau membaca kata “Pribumi”? Saat ini, banyak masyarakat yang mendefinisikan kata pribumi dengan berbagai pemikiran atau apa yang sudah tertanam dalam pikirannya. Pengklasifikasian pribumi dan nonpribumi pun dilakukan berdasarkan agama, budaya, kebiasaan, dan bahkan warna kulit. Seperti saat berada di tempat umum, melihat orang berkulit coklat/gelap dan memakai kerudung/peci kita akan langsung mengklasifikasikan mereka sebagai pribumi. Sedangkan saat melihat orang dengan kulit putih, tidak memakai kerudung/peci maka akan muncul dalam pikiran bahwa ia adalah nonpribumi.

Dengan pemikiran yang tertanam dan definisi pribumi yang sudah melekat dalam bawah sadar telah menciptakan rasisme dan diskriminasi yang terlihat sangat sedeharna dan tidak memiliki dampak apapun tetapi ternyata hal ini telah ‘membunuh’ rasa nasionalisme dalam diri kita. Tanpa mencari tahu lebih dalam mengapa adanya rasisme antara pribumi dan nonpribumi membuat kita membenci satu dengan yang lainnya. Pengklasifikasian ini terjadi sejak masa penjajahan Belanda yang secara tidak langsung “mengadu domba” pribumi dan nonpribumi. Pada zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang-orang di Indonesia berdasarkan etnisitas/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang (yang mayoritas adalah tionghoa) mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).

Banyaknya perbedaan dan pandangan setiap orang mengenai pribumi dan nonpribumi membuat setiap orang memiliki penilaian sendiri. Di satu sisi, pribumi telah memberi ‘label’ bahwa nonpribumi sombong, rasis, menguasai perekonomian negara, tidak mau berbaur satu dengan yang lainnya, dsb. Dalam sisi lain, nonpribumi telah memberikan ‘label’ bahwa pribumi adalah sumber masalah (seperti demonstrasi, kerusuhan), pelanggar hukum, memiliki status sosial yang lebih rendah, dsb. Semua ini adalah penilaian setiap individu yang memiliki pemikiran dan pengetahuan berbeda. Rasisme dan diskriminasi seperti inilah yang diinginkan oleh negara lain agar tertanam di dalam pemikiran rakyat Indonesia. Menurut Bung Karno yang telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926.  Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan. Dengan itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Kekuatan tersebut yang ditakuti negara lain sehingga menciptakan berbagai alibi.

Saat ini tantangan terbesar bukanlah negara lain, pribumi, nonpribumi, dan WNA. Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana setiap individu mau berubah, menerima, dan menciptakan pemikiran yang baru bahwa tidak ada pribumi ataupun nonpribumi. Meninggalkan ‘label’ yang sudah tertanam untuk sesama. Jika kita mencari tahu lebih dalam tentang arti kata pribumi maka dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengartikan pribumi sebagai penghuni asli; yang berasal dari tempat yg bersangkutan. Seperti yang telah dinyatakan dalam UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia bahwa setiap individu yang lahir di Indonesia adalah WNI sah tanpa memandang perihal apapun (walaupun kakek/nenek bukan lahir di Indonesia). Sehingga dengan ini ditekankan bahwa sejak kurang lebih 9 tahun yang lalu (2006) secara sah dinyatakan tidak adanya perbedaan pribumi dan nonpribumi dimana diskriminasi dan rasisme telah dihapuskan. Setiap individu yang lahir di Indonesia adalah WNI tanpa memandang budaya, agama, ras, suku, warna kulit, dan faktor apapun.

Jika kita selalu mengeluh, melakukan protes mengapa kita tidak menjadi negara yang maju, kita harus sadar bahwa kesatuan suatu negara adalah syarat utama untuk menjadi negara maju sehingga kita memiliki suara, visi, dan misi yang sama untuk membawa Indonesia menjadi negara lebih baik. Mencintai Indonesia, menghargai satu sama lain, menghormati setiap perbedaan menunjukkan kita menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, mengakui bahwa kita semua adalah NKRI yang SATU!

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun