Saya selalu bingung jika diminta oleh teman berwarganegara asing untuk mengajarkan beberapa kalimat bahasa Indonesia padanya. Kebingungan saya bukan disebabkan oleh ketidaktahuan saya akan kalimat-kalimat yang sebaiknya saya ajarkan, namun oleh ketidaktahuan saya akan versi bahasa Indonesia yang sebaiknya saya ajarkan. Intuisi pertama saya adalah mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akan tetapi, pada kenyataannya, dalam percakapan sehari-hari, jarang sekali orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Keprihatinan serupa terbersit dalam pikiran saya ketika beberapa waktu lalu diberitahu tentang ujian kemampuan bahasa Indonesia bagi penutur asing. Ibaratnya, jika orang Indonesia mengikuti tes TOEFL untuk diukur kemampuan berbahasa Inggrisnya secara resmi, maka orang asing secara resmi diukur kemampuan berbahasa Indonesianya melalui ujian ini. Ketika mendengar tentang ujian tersebut untuk pertama kali, selain kagum akan keberadaan tes tersebut, saya juga kasihan terhadap orang-orang asing yang mengikuti ujian tersebut.
Meskipun belum pernah melihat soal-soal ujian tersebut, saya yakin ujian itu mengevaluasi kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Menghafal kosa kata bahasa yang baru saja sudah sulit, apalagi ditambah mempelajari penggunaan berbagai imbuhan, sisipan, dan kata depan. Yang membuat kasihan adalah, ketika orang-orang asing ini nantinya benar-benar berinteraksi dengan orang-orang Indonesia, mereka akan kesulitan menemukan pengguna bahasa yang baik dan benar. Bahkan di lingkungan formal seperti perkantoran dan sekolah saja, penggunaan bahasa yang baku tidak lazim kita temukan. Kita jarang menggunakan imbuhan secara lengkap atau tepat dalam bahasa lisan, terkadang tidak menggunakan struktur kalimat yang baik, dan semakin sering menggunakan diksi ‘bahasa gaul’.
Pertanyaan besar di kepala saya yang hingga kini belum saya temukan jawabnya adalah, bagaimana dan mengapa fenomena ini terjadi? Saya berkesempatan untuk belajar beberapa bahasa asing, dan menggunakannya untuk berkomunikasi langsung di negara-negara asing. Bahasa baku yang saya pelajari di ruang-ruang kursus bahasa-bahasa tersebut benar-benar digunakan secara lisan oleh masyarakat, bahkan di lingkungan sekolah dan kampus yang notabene dipenuhi anak-anak muda. Tentu ada beberapa kata-kata ‘gaul’ yang mereka gunakan, tetapi tidak banyak, dan struktur bahasa mereka tidak berubah dari apa yang tertulis di buku teks bahasa.
Lantas, apakah kebiasaan lisan masyarakat kita terkategori buruk? Mungkin tidak. Ahli bahasa dan budaya  lebih berwenang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi, rasanya cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa kita secara menyeluruh masih kurang baik. Apresiasi kita terhadap bahasa pun masih kurang. Nilai ujian bahasa Indonesia siswa-siswi di seluruh negeri diberitakan jatuh dibandingkan nilai ujian bahasa Inggris. Sejak masa sekolah, ruang untuk mengenal dan menghargai kesusastraan tidak banyak. Rasanya bahkan tidak banyak yang tahu dan mengantisipasi bahwa bulan Oktober adalah bulan bahasa.
Bahasa adalah bagian dari identitas suatu komunitas. Sudahkah kita menunjukkan identitas yang baik lewat tutur bahasa kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H