Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sieling Go: Alam Menaklukkan Ego

15 Agustus 2013   17:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:16 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kali ini, saya memiliki teman yang berbeda dengan kebanyakan perempuan. Ia adalah seorang pendaki gunung, ibu dari tiga orang anak, yang telah mendaki Himalaya sebanyak tujuh kali dan pernah juga mendaki Gunung Elbrus di Eropa. Beberapa lama lagi ia akan mendaki Mount Everest, gunung tertinggi di dunia. Mendakigunung-gunung di Indonesia, sudah nyaris tak terhitung. Seandainya Rabindranath Tagore masih hidup, mungkin ia akan melukiskan ibu yang berusia lebih dari setengah abadtidak dengan kalimat seperti ini, “Aku terkenang teras berdinding di bagian dalam rumah kami. Ibu akan menggelar tikar ilalang di lantai, dan ia akan duduk bercakap-cakap di sana dengan teman-teman perempuannya. Pembicaraan mereka tak membutuhkan fakta keras. Kebutuhan mereka hanyalah melewatkan waktu. Pada zaman itu tak ada pasokan rutin masa lalu yang beragam untuk mengisi jam-jam hari. Hari bukanlah anyaman yang rapat dan tertutup, tetapi lebih serupa jala yang longgar dan penuh bukaan. Dalam pertemuan para lelaki, seperti juga dalam kongkow para ibu, kasak-kusuk dan guyonan dipertukarkan dengan ringan hati. ...... Dalam lingkaran ini, ia adalah penyalur gosip harian. Biasanya dia datang dengan mulut penuh remah-remah berita hebat, yang ia kumpulkan atau ia bikin-bikin sendiri. Sepertinya, perempuan ini tidak memiliki jala longgar seperti yang dimaksud oleh Tagore untuk ditelusupi pasokan gosip. Setiap kali bertemu dengannya, tangannya sibuk membuat sesuatu atau melakukan sesuatu. Ia juga telah menulis sembilan buah buku.Mengapa ia begitu asyik?  Dan, kegaduhan-kegaduhan dunia yang menyorot urusan pribadi orang seakan berlalu saja dihadapannya, tanpa sedikitpun ada rasa tertarik. Namun, tiba-tiba mata sipit dan senyum khasnya berbinar-binar ketika mendengar pepohonan, satwa, dan aneka ragam tumbuhan,  dan pemandangan-pemandangan pada semesta.

1376562023863835055
1376562023863835055

Sulit dipahami, betapa kehidupan sebagian perempuan dan lelaki kita begitu tertarik dengan kehidupan pribadi orang lain yang bukan urusannya? Industri hiburan teramat jeli melihat ceruk pasar gosip yang potensinya sangat besar dan menguntungkan secara ekonomi. Semakin tragis dan hancur-hancuran kehidupan orang, maka ‘nilainya’ akan semakin tinggi dan kian menarik untuk diperbincangkan. Selagi tayangan gosip itu berlangsung di layar kaca, iklan-iklan ikut gentayangan menelusupi alam bawah sadar penontonnya untuk membeli itu dan ini.Sempurnalah sudah, antara gosip dan konsumerisme seakan saudara kembar yang tak terpisahkan. Keduanya saling membedaki dan memoles diri, tampil kehadapan penggemarnya tanpa rasa bersalah.

Orang-orang yang menonton nampak lega memiliki berita baru untuk melewatkan waktu lalu dibahas bersama-sama. Pertukaran gosip itu tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga menjadi ajang perbincangan di jejaring sosial. Semua menjadi makanan hari-hari, mengecam, memaki, menyindir-nyindir orang seakan telah menjadi gaya hidup yang boleh dilakukan tanpa beban. Sementara, gaya hidupdiserahkan kepada para industrialis atas nama mode baru, yang bukan hanya mengundang kegelisahan tetapi juga pemborosan-pemborosan sumber daya ekonomi dan ketahanan keluarga. Cafe menjadi tempat kongkow para ibu untuk menghabiskan waktu. Pada orang kaya, persatuan kongkow-kongkow dilabeli status sosialita untuk merujuk pada kasta elit dalam masyarakat.Dalam ‘ketidakberdayaan’ atas serbuan berita dan berjejalnya informasi di dalam kepala, alih-alih menjadi berpengetahuan malah kehilangan makna. Kita tidak tahu, apa gunanyasemua informasi yang berseliweran di dalam kepala kita untuk kehidupan.

Seperti kata Tagore, orang bergosip karena melihat waktu sebagai jala yang longgar. Ya, mereka terlalu banyak waktu luang dan pikirannya terlalu tertuju pada persoalan-persoalan remeh temeh manusia. Sementara persoalan hidup lainnya di semesta ini masih begitu luas dan dalam. Dalam perjalanan ketika ia mendengar suaraburung-burung di hutan, ia berhenti sejenak dan tertegun dalam penghayatan. Ia benar-benarmenikmati bermacam-macam makhluk hidup, seperti pepohonan, satwa hingga pada benda-benda mati, seperti batuan..

Saya teringat pada sebuah halaman buku yang ditulis oleh Ajahn Brahm. Pada saat itu, Ajahn Brahm sedang pergi ke luar kota. Dalam perjalanan, pandangannya terhalangi oleh seseorang yang sedang membaca koran yang sarat dengan berita yang ‘gaduh’, padahal pemandangan di luarsana begitu indah. Ia menyayangkan, mengapa orang itu masih memasok berita yang begitu gaduh di luar sana ke dalam kepalanya, yang sebagian besar tak berguna bagi diri dan kehidupannya. Tidakkah bisa sejenak menikmati pemandangan ini dengan rasa takjub dan penuh kekaguman?

13765628211932091904
13765628211932091904

Saya belajar banyak dari sang teman ini, bagaimana ia melihat pucuk-pucuk perdu dengan penuh rasa takjub. Bunga-bunga liar ia pandangi dengan penuh kekaguman. Seluruh dirinya menyatu bersama alam. “Aku menemukan Tuhan di gunung,” ujarnya ringan. Benar, ada banyak keindahan alam. Kita dapat menikmati hujan dengan penuh kegembiraan sembarimenghayati tentang siklus cuaca serupa siklus kehidupan. Hari ini, kita menjadi Ratu Gosip, bagaimana seandainya cuaca esok berubah, kita yang menjadi bulan-bulanan orang, dan seluruh aib kita disebarluaskan?

Jika kita terbiasa dekat dengan alam, seperti teman saya ini, melihat keindahan dengan penuh kegembiraan dan kekaguman, mungkin kita akan menjalani hidup dengan cara yang lebih sederhana, laluperlahan menjauhi gosip dan keinginan mengecam orang. Kekurangan orang bukanlah sesuatu yang terlalu menarik lagi untuk menjadi pusat perhatian dan perbincangan. Mendaki gunung, demikian menurut sang teman, seakan seperti sebuah perjalanan untuk menaklukan diri sendiri. Bukankah, semakin dewasa berpikir manusia, ia akan berpusat, bagaimana menaklukan dirinya sendiri- ego dan hawa nafsunya sendiri-.“Hmm..Alam terkembang menjadi guru.” Hening bersama alam raya, membuat kita menyadari, betapa terlalu banyaknya kita bicara.

_________

Bandung, 15 Agustus 2013

Catatan :

Tulisan ini didedikasikan untuk Sieling Go. Beberapa waktu lagi ia akan mendaki Mount Everest (8.848 dpl) gunung tertinggi di dunia bersama beberapa orang pendaki kelas dunia, yang di biayai pemerintah China. Sieling Go adalah satu-satunya pendaki dari Indonesia. Perempuan (lagi). Semoga engkau pergi dan pulang dalam keadaan aman dan selamat. Tuhan menjagamu.Love and hugs to you..

Sumber Gambar : (1) koleksi pribadi Sieling  Go ; (2,3) koleksi pribadi penulis.

Tagore,Rabindranath, “Tagore dan Masa Kanak”. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun