Salah satu ketidakmampuan manusia modern sekarang ini adalah menunda keinginan. Keinginan seakan telah menjadi sosok makhluk yang butuh pemenuhan. Padahal antara kebutuhan dan keinginan adalah hal yang berbeda. Tetapi, masyarakat modern semakin saru membedakan keduanya. Keinginan adalah kebutuhan itu sendiri.
Ibu-ibu rumah tangga sering mengeluh tentang gaji suaminya yang megap-megap, di mana dia merasa begitu sulit mengatur uang belanja. Para suami merasa stress karena tekanan pekerjaan, kompetisi hidup dan karir  yang kian tidak sehat, namun ia memmiliki ambisi untuk berkuasa. Sementara ibu yang bekerja merasa tertekan karena profesinya menuntut ia menjadi seorang superwoman, mengurus rumah tangga agar tetap baik-baik saja dan urusan pekerjaan di luar rumah terselesaikan.
Suami istri bekerja dengan double penghasilan kadang kala bukan sebuah jaminan mereka akan hidup makmur. Perempuan bekerja ternyata membutuhkan pos pengeluaran yang lebih besar untuk penampilan dan gaya hidup lainnya, apalagi jika mereka tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Godaan untuk hang out sangat tinggi. Belum mode baju, tas, sepatu dan asesoris lainnya yang begitu cepat berubah. Tidak puas dengan mode-mode yang ada di Jakarta dan Bandung, mereka berbelanja ke luar negeri.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, jika ada tas wanita seharga  ratusan juta, setara dengan mobil sedan yang sudah sangat nyaman.  Tak mungkin wanita yang membawa tas seharga ratusan juta memakai sepatu dari Cibaduyut dan hunting baju berdesak-desakan di Tanah Abang yang model kembarannya ribuan. Untuk tampil cantik dan menarik, ia membutuhkan salon ternama dan kosmetik-kosmetik yang mahal.  Ia harus tampil eksklusif. Makan tidak bisa sembarangan di kaki lima. Penampilan ‘wah’ menuntut gaya hidup yang mewah dan pelayanan yang premium. Pelayanan istimewa mengukuhkan harga diri, dan untuk setiap pelayanan yang menyenangkan akan menuntut pengeluaran yang lebih besar. Tak hanya perempuan, lelaki-lelaki pun sekarang ikut-ikutan juga memelihara penampilan untuk memberi citra sukses dan  mapan.  Semakin banyak penghasilan, semakin banyak pengeluaran untuk membiayai gaya hidup. Hidup tak ubahnya bagai perlombaan tikus.
[caption id="attachment_303046" align="aligncenter" width="194" caption="credit image : http://asianmalerevolutions.com"][/caption]
Tidak Menginjak Bumi
Suatu hari, saya pergi ke sebuah dealer mobil. Sang sales mobil itu bercerita tentang omzet kendaraan yang grafiknya terus naik. Untuk jenis-jenis tertentu bahkan ada yang sudah pesan awal. Jumlah pemesannya sudah banyak, sementara mobil belum keluar. ‘Pantas jalanan macet’ bisik hati saya pada diri sendiri. Sembari berbincang, sang sales memberikan kertas paket-paket kredit dengan asuransinya dari beberapa perusahaan finance dan beberapa bank. Ia mengatakan, hampir sembilan puluh persen orang yang datang ke showroom tersebut transaksi dengan cara kredit. Saya membayangkan, berarti mobil-mobil baru yang ada di jalanan dan memacetkan jalan itu mobil-mobil kreditan. Berarti, ada sepuluh persen lagi manusia istimewa, yang memiliki uang cash ratusan juta. Siapa dia, apa profesinya? Sang sales mengatakan, ‘Umumnya mereka pedagang dan petani. Lucunya, Bu..mereka itu ada yang peternak bebek, petani bawang. Mereka tidak berani kredit. Mereka takut berhutang. Karena itu, mereka datang ke sini dengan membawa uang dalam kantong kresek. Penampilan mereka sangat sederhana..tetapi uangnya banyak.’ Saya tertawa, bukan karena mentertawakan cerita itu, tetapi mentertawakan diri sendiri. Ini cerita aneh.
Ya, kita ini masyarakat yang aneh. Bukan hanya volume kendaraan yang tak terkendali yang tak disesuaikan dengan sarana jalan. Kita juga  belum siap dengan peradaban tinggi. Laptop, ponsel dan perangkat teknologi komunikasi lainnya hanya dipakai untuk  menjadi aktivis di jejaring sosial, ngobrol ke sana kemari yang tidak penting, dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak mengukuhkan kualitas kemanusiaannya. Lihatlah, anak-anak, orang dewasa seakan menjadi orang yang sok sibuk dan memiliki bisnis yang begitu penting, ponsel tak lepas dari genggamannya, dan sebentar-sebentar melihat ponsel. Karena itu, anak-anak sekarang semakin sulit untuk fokus dan membuat skala prioritas dalam hidupnya. Aktivitas di jejaring maya yang frekuensinya sangat tinggi membuat orang-orang mudah gelisah dan gagap di lingkungan sosial, serta sulit cepat tanggap pada tugas dan tanggung jawabnya. Semua ini menjauhkan dirinya dari keterampilan sosial dan keterampilan hidup.
Selanjutnya, kita akan mewariskan peradaban ini pada generasi yang tidak ‘menginjak bumi’ dan kehilangan jati diri kemanusiaannya, dan serba instant. Tanah-tanah pertanian ditinggalkan anak-anak muda, sebagai gantinya kita akan impor sayuran, buah-buahan, beras dan daging. Bekerja ingin segera digaji tinggi. Semua ingin serba cepat. Cepat sukses dan cepat kaya. Semuanya menjadi kehilangan kendali diri.
Aku Capek Tuhan
Masyarakat kita ini sedang sakit. Mental mereka  rapuh.  Masyarakat yang sudah sangat hedonis dan mementingkan citra diri. Kadang harus mengorbankan diri berpura-pura, pura-pura kaya, padahal bathinnya tersiksa karena memiliki hutang di mana-mana. Untuk menjadi kaya,   mereka  korupsi dan suap menyuap laksana virus yang menyebar di seluruh negeri. Mencari uang dengan menghalalkan segala cara, sikat sana-sini.  Alangkah mengerikan dan melelahkan.  Benar kata Lan Fang, ‘Jika dunia ini adalah panggung sandiwara, aku mau jadi penontonnya saja. Aku capek, Tuhan…!’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H