Banyak orang yang penasaran dengan sisi gelap orang lain, seperti banyak orang yang terpukau dengan kehebatan seseorang. Walaupun sisi gelap orang lain dipandang lebih sexy dibanding kehebatannya.  Kegelapan dan kehebatan selayak keping koin utuh yang memiliki dua wajah yang menjadi harga seseorang. Yang menggelikan adalah, orang-orang senang menggunjingkan dan menghakimi sisi gelap orang lain, tanpa disadari ia sedang memasuki sisi gelapnya sendiri. Apa yang akan kita katakan  jika ada orang yang mampu melampaui sisi gelapnya, sementara kita masih menghakimi dan menggunjingkan masa lalunya?
[caption id="attachment_302561" align="aligncenter" width="469" caption="credit image : www.welcomerajashtan.com"][/caption]
Abu Nawas dikenal sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh dalam cerita 1001 malam, bersanding dengan Sultan Harun Al Rasyid. Abu Nawas memiliki  selera humor  dan pengkhayal yang sangat tinggi dengan syair-syairnya yang jenaka. Dalam riwayat disebutkan, dibalik kreativitasnya yang dahsyat ia melakoni sisi-sisi yang gelap di dalam hidupnya yakni gemar bermaksiat. Salah satunya, kedekatan dengan kekuasaan  pada Dinasti Abbasiyah. Kedekatan itu   membuat   syair-syairnya ketika itu cenderung memuja dan  menjilat kekuasaan.  Dari ‘hasil menjilatnya’ ia diganjar hidup dari pesta ke pesta,   yang akhirnya menyumbang karakter sombong dan lupa  diri.
Namun setelah ia dipenjara oleh Kafilah Bani Mudhar yang tersinggung karena syairnya, Abu Nawas berubah dan menjalani kehidupan yang lebih religius. Seakan ingin menebus seluruh kesalahan-kesalahannya, Abu Nawas setelah itu  banyak menulis karya ilmiah dan banyak beribadah.  Sementara syair-syairnya menjadi lebih indah dan sangat religius.
Banyak orang-orang besar yang menjadi ‘besar’ justru karena ‘ketidaksempurnaan’ hidupnya. Ibnu Sina, sang  filosof, yang buah pemikirannya menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan modern, adalah lelaki yang  dianggap orang  ‘tidak lengkap’. Ibnu Sina tak pernah menikah di sepanjang hidupnya. Demikian pula Leo Tolstoy, sastrawan besar dunia,  rumah tangganya  tak pernah sepi dari pertengkaran. Kepahitan hidupnya  menyumbang kepekaan, kehalusan dan perenungan hidup yang mendalam. Warna tulisannya menjadi sangat lembut, religius dan filosofis.   Sekalipun ia meninggal dalam keadaan yang menyedihkan di sebuah statsiun kereta, tetapi kebesaran namanya melampaui kelam kehidupannya. Jika istrinya memandang Leo Tolstoy dengan sebelah mata - karena ia adalah putri seorang bangsawan Rusia- tetapi dunia mencintai dan memuja Tolstoy. Bahkan setelah meninggal, namanya masih disebut-sebut dengan segala kebaikan dan kehebatannya.
Menonton Panggung Kosong
Ketika masih kecil, kita belajar berjalan. Kita jatuh dan bangun. Kita jatuh agar belajar bangun.  Pernahkah kita melihat ada beberapa tipikal anak ketika jatuh, ada yang cepat bangun tanpa tangisan, ada yang menangis panjang tetapi akhirnya bangun sendiri dan meredakan tangisannya sendiri. Tetapi, ada juga yang menjerit-jerit meminta-minta tolong setelah itu   tangisannya baru reda. Yang terakhir, karena orang tuanya galak, anak itu diberi bonus pukulan   dan dimarahi, karena dianggap tidak hati-hati.
Betapa gegabahnya orang tua yang tidak mendampingi anak balitanya  dan usia sekolah dasar ketika menonton  film kartun di televisi. Film kartun yang lucu seperti Tom dan Jerry, menyimpan potensi ‘luka bathin’ bagi anak, yakni krisis empati atas tragedi dan kesedihan orang lain. Semakin tersiksa tokoh-tokoh di dalam kartun tersebut, terutama Si Tom, maka semakin meledak tawa dan terpingkal-pingkal pula.  Begitu nikmat rasanya melihat kesengsaraan yang dideritanya.
Pada dunia yang nyata, manusia kebanyakan bagai anak-anak yang sedang menonton film kartun, semakin hancur-hancuran melihat kehidupan orang, mereka seperti menikmati ‘orgasme berita’. Karena itu, mengapa acara infotainment begitu digandrungi orang,-terutama perempuan- karena menyajikan dunia paradoks yang sarat dengan tragedi. Para lelaki pun sama saja, mereka juga membicarakan politisi  yang biasanya terkait dengan kasus hukum.
Tidak semua orang sanggup keluar dari badai kehidupan karena sisi gelapnya terungkap. Baik itu karena ia menabur angin, atau karena orang lain yang menabur angin. Sungguh ‘kagum’ kepada para artis yang tersangkut kasus-kasus berat dan menjadi bulan-bulanan massa dan media, seperti Ariel Peterpan ( Noah, sekarang). Setelah kasus video pornonya dengan beberapa artis dan masuk ke penjara,  tetapi begitu keluar dari penjara ia berkibar kembali dan sama  hebatnya dibanding sebelumnya. Entahlah, apakah kita sanggup menghadapi beban yang berat seperti yang dialami politisi, Lutfi Hasan Ishaq (mantan presiden PKS) dan dicaci maki oleh jutaan orang di Indonesia dan media.  Seandainya kita yang menjadi Ariel, Lutfi dan sederetan orang-orang yang menjadi bulan-bulanan massa dan media, apakah kita masih hidup?
Teringat ibu saya yang mengajarkan agar tidak membiasakan memaki dan metertawakan orang yang sedang kesulitan menghadapi badai hidupnya. Jika itu adalah kesalahannya, maka do’akan agar hidupnya lebih baik. Kalau itu terkait kasus hukum, biarkan pengadilan yang menyelesaikannya.  Karena, derita, kesalahan, kegagalan, bahkan tragedi adalah  obat yang pahit, namun sangat sehat dan menguatkan. Pada orang-orang besar bahkan dijadikan sebagai titik balik.
Ibarat menonton sebuah panggung sandiwara, sementara layar sudah tutup. Orang-orang masih  asyik membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain pada pertunjukkan tadi. Sementara ‘korban’  tersebut telah memiliki ‘panggung lain yang megah’ dalam hidupnya, penonton masih belum beranjak dari sana dan terus membicarakannya. Betapa sia-sianya  menonton panggung kosong. Mudah-mudahan mereka tidak rusuh dengan sesama mereka di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H