Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hama dan Karantina

4 September 2011   09:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:15 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bolehkah saya bermain di dunia luas, mama?” tanya seorang anak.

“ Boleh. Dari dunia luas kamu akanbelajar keragaman kehidupan.”

#

Alkisah ada seekor anak kodok bernama Pet, sebagaimana layaknya anak-anak ia gemar sekalibermain bersama teman-temannya. Mereka bermain di sawah yang airnya tenang. Sesekali mereka bermain petak umpet, ledek-ledekan dan pura-pura berkelahi seperti jagoan mereka di televisi. Terkadang ada suara tergelak diantara mereka untuk mentertawakan kekonyolan-kekonyolan yang sederhana. Namun sesekali, ada suara tangis dan suara pertengkaran walau tak lama kemudian cepat berdamai.Lalu,merekabermainkembali dengan riang, seolah tak ada kejadian apa-apa.

Entah pemikiran dari mana, salah seorang diantara mereka meluncukkan ide gila, bermain di selokan. Para anak kodok itu sedang mencari sensasibagaimana rasanya nyebur di derasnya air, mereka bosan bermain-main disawah. Sesekali mereka ingin tahu bagaimana rasanya bermain arung jeram, ala kodok tentunya.Mereka akhirnyaberiringan pergi ke selokan yang tak jauh dari sawah tempat mereka bermain.

Rupanya  ayah Pet diam-diam mengintip kelakuan anaknya, tiba-tiba perasaannya dilanda kekhawatiran akan keselamatan Pet dan sekaligus menyimpan perasaanjengkel kepada teman-temannya, ia menilai semua teman-temannya tidak baik, “ Kalian jangan ngajak-ngajak anakku menjadi nakal dan kamu Pet,  masih terlalu kanak-kanak, kalau kamu nyebur kesana, kamu akan terbawa arus dan mati.”Melihat kemarahan ayah Pet, kodok-kodok lainnya berlarian ketakutan, namun mereka tetap melaksanakan ide gilanya. Ternyata air selokan yang deras itusangat menyenangkan, semua teman-teman Pet sangat menikmatinya. Otot-otot mereka menjadi semakinkuat,tentu saja mereka selamat semuanya dari arus air. Sementara Pet pulang ke rumah sambil berlinang air mata, karena tak diperbolehkan lagi bermain dengan teman-temannya. Bagi ayah Pet, apa yang dilakukan oleh Pet adalah sebuah kesalahan.

Singkat cerita, dihari kemudian ketika para kodok itu telah dewasa. Teman-teman Pet telah menjadi kodok yang ulet dan pemberani, dan berani berkompetisi mencari serangga. Sementara Pet menjadi kodok yang peragu dan penakut, bahkan untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri

Nanti Mulutnya Disambar Api Neraka…

Dulu, saya amat terkagum-kagum dengan cara mendidik anak-anak ala teman kepada anak usia balita-nya, “ Eeh..ayo dihabiskan makanannya, jangan dibuang-buang..nanti Allah marah…” Ketika itu saya merasakan, bawa-bawa Tuhan dalam menegur orang atau anak, gagah juga kedengarannya. Apalagi yang ini, “ Heii..jangan bicara kotor, nanti mulutnya disambar api neraka.” Kalimat ini bukan cuma menakutkan, namun juga menyeramkan, lumayan ampuh untuk menegurorang dewasa semacam saya.Entah buat anak-anak, mungkin mereka bayangkan neraka itu seperti tempat bermain pesta kembang api.

Saya sempat menyaksikan, beberapa teman sengaja “menangkar” putra-putrinya untuk tidak bergaul dengan anak-anak yang dianggap anak dari kalangan umum, karena dikhawatirkan mereka akan berbicara kasar, melalaikan shalatyang akan merusak “kesucian pikiran” anaknya. Mereka memperbolehkan bermain hanya dengan anak-anaknya yang orang tuanya satu pemahaman.Pun ketika memilih sekolah, mereka sengaja menyekolahkan ke sekolah-sekolahdimana banyak anak kalangannya bersekolah, dan menghindari sekolah umum yang dianggap akan membawa kemudhlaratan bagi tumbuh kembangnya iman maupun secara psikologis. Menurut teman saya,kita harus menjagafitrah anak-anak yang suci dari teman-temannya, apalagi jika kita tak tahu bagaimana cara orang tua mereka mendidiknya. Dikhawatirkankalangan diluarmereka itu serupa hama yang akan merusak kepribadian anak-anak. Itulah sebabnya, mengapa mereka memilih untuk mengkarantina putra-putrinya, agar mereka tumbuh menjadi anak-anak yang shaleh-shalehah.

Namun ternyata seiring dengan perkembangan usia anak-anak, wilayah jangkauan mereka meluas. Mereka berkenalan dengan dunia luar yang tak terduga. Salah seorang putra teman saya ketahuan bermain game di warung internet, ternyata peristiwa ini ditanggapi amat serius oleh lingkungan tersebut, seolah-olah itu adalah kesalahan besar. Apalagi ketika ditemukan kasus, salah seorang putra teman ketika di SMP mulai naksir lawan jenis dan berpacaran,ini menjadi berita heboh dan tentu saja membuat orang tuanya begitu murka kepada sang anak, yang dinilai sebagai perbuatan yang sangat memalukan.

Dunia Yang Tak Steril

Dunia ini tak steril dan bukan tempat yang homogen. Ketika mencoba “ mensterilisasi” anak, bukan hanya melawan hukum alam, namun juga membuat anak menjadi rentandan picik.Apalagi dtengah pergaulandunia yang heterogen, menerima keragaman adalah keniscayaan.Warna-warni kehidupan ini begitu indah. Bagaimana kita akan belajar kebaikan kalau tidak mengenal keburukan. Bagaimana kita akan mengenal kebenaran jika tidak mengenal kesalahan. Kesalahan yang dilakukan anak-anak sepanjang masih dalam taraf yang wajar bukanlah sesuatu yang harus di seriusi amat.

Kadang saya berpikir, jangan-jangan yangmenjadi hama sesungguhnya bagi anak-anak adalah kita, para orang tua.Kita senang memberinasihat, aturan-aturan maupun tuntutan-tuntutan kepada anak-anak, sementara kitasendiri tak memberi keteladanan. Padahal,boleh jadi yang harus “dikarantina” adalah para orang tua, yang membiarkan pikirannya liar, kadangtakmampu mengendalikan diri, padahal usia telah meninggi.Ada pun anak-anak menyaksikan perbuatan ganjil para orang tua setiap hari dan kemudian mereka internalisasikan kedalam pikiran dan perasaannya. Aih.. betapa egoisnya jadi orang tua.

____

Bandung, 4 September 2011

Sumber gambar: www.temkit.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun