Dalam teori ekonomi dikenal ada hukum Gossen yang berkaitan dengan tingkat kepuasan konsumen terhadap barang konsumsi. Semakin sering barang tersebut dikonsumsi maka tingkat kepuasan akan semakin menurun. Contohnya kita makan gado-gado, kalau dikonsumsi setiap hari maka anda akan bosan.
Ternyata Hukum Gossen tidak hanya berlaku dalam hukum ekonomi saja, tetapi dapat dipakai untuk menganalisis sejumlah masalah-masalah sosial, salah satunya adalah fenomena Aa Gym. Sayang, saya tak begitu terlalu happy membahas soal poligami maupun perceraiannya dengan Teh Ninih. Saya lebih tertarik pada soal, mengapa Aa Gym “jatuh” dan ditinggalkan jamaahnya.
Dalam ilmu komunikasi, dikenal istilah etos. Seseorang dikatakan memiliki etos apabila memenuhi good moral character. Etos berkaitan dengan pertanggungjawaban statemen dengan tingkah keseharian. Untuk seorang pendakwah, etos menjadi prasyarat kredibilitas dihadapan jamaah. Kredibilitaslahir karena adanya konsistensiatas seruan kebaikan dan ia melaksanakannya.
Aa senang membicarakan teori-teori keluarga sakinah yang menuntut keteladan dari pembicaranya. Ternyata Aa poligami dan jamaah kecewa. Pasca poligami, jamaah menurun drastis. Aa menyikapi bahwa penurunan jamaah dikarenakan banyak orang yang salah dalam memahami poligami, ia tidak merasa bersalah akan keputusan itu (Ma’arif, 2009).Jama’ah sebagai “konsumen” Aa Gym akhirnya kecewa,” isi barang” tak sesuai dengan “kemasannya”. Namun Aa Gym tak peduli dengan suara-suara sumbang, yang penting dirinya dekat dengan Allah. Ia keukeuh poligami merupakan sesuatu yang dihalalkan, sementara public figure di masyarakat pada era emansipasi menuntut semangat egalitarianisme antara perempuan dan laki-laki.
Jangan dikira poligami satu-satunya kejatuhan Aa.Ternyata poligami Aa Gym hanyalah bom waktu saja. Jauh sebelum Aa poligami, Professor Ahmad Tafsir memprediksi, umur dakwah Aa Gym yang mendayu-dayu tidak akan bertahan lama. Prediksi ini didasarkan atas telaahnyaatas materi dakwah yang berputar-putar dari itu ke itu. Mungkin memperkaya pengalaman bathin masyarakat awam, tetapi bukan untuk kaum terpelajar (Ma’arif, 2009).Gaya dakwah Aa’tidak berkembang, bahkan masyarakat awampun mulai jenuh karena seringnya Aa tampil di area public dan dijadikan ikon dakwah oleh media. Aa menjadi “barang dagangan” televisi, radio secara terus menerus sementara dakwahnya tidak berkembang, tak banyak perubahan. Change is the law of life, kata John F. Keneddy. Alih-alih Aa’ tidak kreatif karena menikmati kemapanan dan tidak cukup kuat untuk membuat inovasi-inovasi baru. Hukum Gossen kembali berlaku.
Kejatuhan semakin berat, karena Aa’ biasa menggunakan media massa (cetak dan elektronik) yang dipakai mendukung figuritasnya dan mempopulerkannya. Media elektronik dalam dunia dakwah bermuatan pesan rendah (low involvement). Sementara yang dibutuhkan dalam komunikasi dakwah adalah mengakar dan mendalam. Aa menggunakan media yang lebih menekankan pada poluler serta favorit dengan titik berat pada self monitoring dan self presenting. Pada saat jama’ah kecewa atas perilaku Aa’, media massa “memukul balik”.Setelah itu media massa mengubahnya menjadi figure yang sangat naïf.
Namun, apakah Aa memberlakukan hukum Gossen pada Teh Ninih hingga menceraikannya? Yang ini saya enggak mau bahas. Bau gosip :)
__________
Rujukan :
Bambang Syaiful Ma’arif, Pola Komunikasi Dakwah Abdullah Gymnastiar & Jalaluddin Rakhmat, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009 dan dari berbagai sumber.
Sumber gambar : www.rujakmanis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H