Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Senja di Ngurah Rai

24 Februari 2014   01:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_324191" align="aligncenter" width="680" caption="Jalan Tol Benoa, Bali."][/caption]

Ciuman perpisahan tadi, suamiku, hanya sejenak melepaskan beban, setelah itu yang tertinggal  hanyalah  nyeri kehilangan. Lalu, kita akan menyusuri perjalanan sendiri-sendiri. Di mana pun bandara, entah di El Tari Juanda, Husein Sastranegara, atau di Soekarno-Hatta,  aku senantiasa sadar diri, ini adalah gerbang kedatangan dan kepulangan yang membuat diriku sedemikian melankoli. Sebuah perasaan yang semestinya tak harus kuikuti.

Aku merasa, pelukanmu masih tertinggal di jiwaku, juga aku masih membayangkan jemarimu menggenggam lenganku seperti saat kita berdua menyusuri sunyi di Sumlili, mata kita saling berpandangan mengeja keraguan di persimpangan Oekabiti. Mungkin  aku masih bermimpi. Sore lalu, kita masih  mencari durian di jalan  Puputan,  lalu  menelusuri bentangan jalan  di Nusa Dua. Engkau berkata,”Kadang aku merasa hidup itu seperti mimpi.” Kemudian,  engkau bercerita tentang sebagian kisah perjalanan hidupmu di Toronto keindahan Paris, Boston dan London, juga  Swedia. Engkau bercerita tentang kanal dan kincir angin di Belanda, serta musim semi di Jerman. “Aku ingin bersamamu melewati jembatan San Francisco, dan menyusuri gurun untuk mencapai Idaho.” Aku melamunkan engkau sendirian begitu lama di Everett, membelah musim  di antara salju-salju yang menepuk-nepuk jendela apartemen.  “Hidup memang mimpi itu sendiri,” kataku menimpali.

Kau tahu,  aku selalu  tergugu, menelan kerinduanku  menyelimuti tubuhmu kala engkau tertidur lelap. Membuka pagimu dengan membuatkan secangkir cokelat hangat, lalu  duduk tenang berhadapan di meja makan, sambil menunggumu sarapan.  Aku ingin bercerita padamu, bahwa aku bertemu kunang-kunang tadi malam, dan capung merah di kolam kemarin siang. Aku berjumpa jangkrik dan juga belalang sembah. Aku menyisihkan sedikit makanan untuk burung-burung yang menyambangi halaman sembari membayangkan ada berapa tetes kira-kira air hujan yang akan turun dari pelataran awan, seraya menerka-nerka, dari arah mana nanti angin akan bertiup. Hatiku  demikian berbunga-bunga menatap  pendar-pendar warna langit, dan tetumbuhan di bukit-bukit serta wajah cerah para petani.

Di Ngurah Rai, pesawat datang dan pergi dengan  kisahnya  masing-masing. Seperti kita hampir selalu naik pesawat sendiri-sendiri, dan arah perjalanan yang seringkali berbeda.  Kita bertemu sesaat,  setelah itu berpisah begitu lama.  Ketika aku naik pesawat nanti menuju Husein Sastranegara, aku berjanji akan melarutkan semua duka, seraya  menghibur diri, bahwa kita adalah  pasangan istimewa.

(Denpasar,  12 Februari 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun