Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menghina Calon Presiden...!

26 Juni 2014   13:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:50 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1403739109672404077

[caption id="attachment_344862" align="aligncenter" width="620" caption="Sumber gambar : www.pemilu.com/jokowi-vs-prabowo-pilpres-2014/"][/caption]

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, menghina berarti merendahkan; memandang rendah (hina,tidak penting) atau, memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki, menistakan).  Sepanjang sejarah saya hidup, inilah kali pertama menatap beranda facebook, twitter dan media sosial lainnya , serta perbincangan di masyarakat energi masyarakat Indonesia begitu besar membahas dua orang sosok yang paling panas pada akhir-akhir ini - yaitu Jokowi dan Prabowo. Dari kedua kubu  - sebagian pendukung Prabowo maupun Jokowi, tak kurang dan tak lebih sama-sama  saling menghina-dina, menistakan, memburukkan nama baik  rival jagoan mereka masing-masing.  Bersyukur, semuanya masih dalam tataran kata-kata, walaupun terasa asapnya demikian menyesakkan dada, dari hawa kemarahan, kebencian yang membakar hati dan menggerus akal sehat.

Untuk menistakan dan memaki-maki  seseorang memang tidak membutuhkan akal sehat. Karena, orang yang memiliki akal sehat tak akan pernah sanggup menghina-dina, merendahkan, melukai bahkan sampai memfitnah orang.  Sampai diujung penghinaan yang paling akbar adalah  dengan membawa-bawa agama dan ayat-ayat suci untuk melegitimatisi agitasi kepada seseorang dan kelompok tertentu.  Agama dan ayat-ayat suci  memang paling mudah dijadikan tameng untuk melindungi hasrat ego yang tersembunyi. Di mana pun, jubah agama adalah cara yang paling aman untuk menyelamatkan diri dari kepungan teriakan-teriakan dan serangan-serangan yang membongkar sisi gelap seseorang  demi menutupi kekurangan  manusiawinya.

Di sisi yang lain,  jargon nasionalisme juga tak kalah arogannya. Pada sebuah titik, ketika penyembahan kepada nasionalisme – chauvinism – yang berlebihan, dan merasa mejadi patriot bangsa yang sempurna, hanya akan memenjarakannya pada fanatisme ekstrem pada pada sebuah kelompok – sebagai pengikut yang setia yang seringkali melakukan sesuatu tanpa penalaran yang bijak.

Energi Rakyat yang Terkuras

Sesungguhnya, rakyat Indonesia adalah rakyat  begitu malang.  Benturan-benturan kepentingan elite politik di atas sana seringkali menjadikan akar rumput sebagai pion-pion yang sengaja dipelihara dan menjadikan rakyat sebagai  alat  untuk kepentingan-kepentingan ambisi politik, dengan melemparkan sejumlah isu untuk memperoleh dukungan. Sentimen SARA  dan jargon-jargon nasionalisme -  seringkali dijadikan muara untuk pengalihan yang seringkali  tak lebih hanya untuk  kepentingan ambisi politik.  Padahal, tanyalah sebagian besar rakyat Indonesia, mereka hanya ingin hidup tenang, dengan pekerjaan, pendidikan, sarana kesehatan yang memadai.  Sebagian besar rakyat Indonesia tak makan dari pekerjaan sebagai politisi.  Sederhana…

Media massa juga  sebagai perpanjangan kepentingan politik telah mengubah semuanya. Alih-alih tayangan-tayangan yang ada  untuk mencerdaskan memilih wakil rakyat atau para pemimpin yang mumpuni dan sehat akal-budinya, tetapi  malah menjadi  tungku-tungku yang membakar dan mendoktrin  pikiran rakyat untuk berpihak.  Media semestinya sebagai pencerahan malah menjadi sarana pembodohan dan pengikisan akal sehat.

Sekalipun saya demikian kecewa dengan perhelatan fitnah dan caci maki di tengah kampanye ini -  saya akan tetap memilih dan ikut berpartisipasi dalam pilpres nanti.  Saya masih percaya – ada sisi gelap dan sisi terang dalam politik. Sisi terangnya adalah, politik tetap diperlukan untuk memberi arah pada negara. Saya mempelajari jejak Prabowo – Hatta Rajasa, juga Jokowi – Jusuf Kalla.

Saya percaya, ketika seseorang maju sebagai pemimpin negara, mesti memiliki kecintaan kepada tanah air Indonesia. Saya akan selalu apresiatif baik kepada  Jokowi  atau Prabowo.  Sebagai rakyat jelata yang tak begitu  antusias masuk dalam hiruk pikuk politik, saya mencoba tetap mengikuti. Kemudian, cukuplah hati saya diam-diam menilai Jokowi dan Prabowo  melalui apa yang diucapkan mereka, dan bagaimana rekam jejaknya. Saya kira, rekam jejak tak akan pernah bisa berdusta.

Mari kita meramaikan  pilpres dengan tetap mengedepankan etika berpolitik.  Pilihlah presiden sesuai dengan suara hati nuranimu.  Jadikan perbedaan pandangan sebagai dasar penghormatan, bukan perselisihan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun