Mohon tunggu...
Erna Manurung
Erna Manurung Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bermukim di kampung halaman (Serang, Banten)

Senang menulis hal Ikhwal masalah-masalah kesehatan jiwa, sesekali jalan-jalan di sekitar rumah lalu melaporkannya ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerita-Panjang] Kala Usia Senja Tiba #Tamat

18 Juni 2021   08:00 Diperbarui: 18 Juni 2021   08:05 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Yani masih rapat bersama Pengurus Yayasan. Siang ini mereka harus memutuskan siapa yang akan ditugaskan untuk menjadi Ibu Asrama. Ibu Yani belum yakin apakah Lestari bisa menjalankan tugas tersebut. Ia percaya dengan semangat dan ketulusan gadis itu, tapi rasanya masih butuh waktu dan pengalaman yang lebih banyak. Lestari masih harus berlatih mengelola relasinya dengan penghuni panti.
 
Dua minggu lalu ada pasangan suami-istri yang berencana tinggal di Pondok Usia Indah. Bapak dan Ibu Bambang namanya. Mereka pernah menjadi konselor di salah satu Crisis Center di Jakarta. Untuk menghabiskan masa tuanya, keduanya sepakat akan tinggal di panti lansia. Supaya tidak merepotkan anak-anak, katanya.
 
Ibu Yani ingin meminta mereka bekerja di panti ini untuk mengatur kerumahtanggaan yang tentunya dibantu para staf dan asisten rumah tangga. Semoga mereka bersedia, harap Ibu Yani.
 
***

Hari Kamis pagi, tamu Tante Linda menemui Astry di ruangannya.
 
"Hallo mbak Astry," Sylvana menyapa gadis itu.
 
"Selamat pagi bu Syl. Nyenyak tidurnya?" jawab Astry sambil menyunggingkan senyum manisnya.
 
"Wah, tentu saja. Tempat ini asyik ini juga mbak. Asri dan suasananya tenang."
 
"Terimakasih bu Syl, kapan-kapan datang lagi ke sini ya?"
 
"O iya, tentu."
 
Pagi itu Ibu Sylvana memberitahu kalau ia akan kembali ke Jakarta hari Jumat siang. Maka, ia membereskan seluruh pembayaran dan menyelipkan beberapa gantungan kunci untuk dibagikan kepada para staf. Bulan depan, sahabatnya akan menyusul ke Jakarta.
 
Mereka berdua memutuskan akan menyewa sebuah rumah yang cukup besar untuk dijadikan  rumah singgah atau rumah tinggal bagi para lansia yang membutuhkan. Linda ingin melanjutkan hidupnya bersama teman-teman sebaya; melakukan hal-hal yang bermanfaat. Ia masih harus menggunakan tongkat tetapi hatinya kini lebih optimis. Usianya belum lagi 60 tahun. Masih ada kesempatan untuk menjalankan bisnisnya di dua kota, Jakarta dan Ambon. Pengeloaan bisnis yang di Ambon ia percayakan kepada anaknya sulungnya.  
 
Bagaimana dengan Lestari? Setelah melalui diskusi yang cukup panjang selama beberapa waktu, akhirnya ia memilih berhenti, meskipun ibu Yani menawarkan pekerjaan baru di kantor Yayasan. Lestari memutuskan keluar bukan karena sudah ada calon ibu asrama, atau karena sahabatnya Tante Linda akan pergi dari panti. Ia merasa perlu mencari pengalaman lebih banyak di tempat lain sebelum sungguh-sungguh yakin akan mengabdikan hidupnya di panti lansia.
 
Minggu ini Sarweni mengakhiri masa prakteknya. Kembali ke kampus, dan setelah lulus ia akan pulang ke Sulawesi bekerja di panti jompo milik pemerintah. Persahabatannya dengan Lestari cukup mengesankan. Ia seperti merasa punya kakak perempuan. Kapan-kapan, Sarweni akan mengundang si 'kakak' berkunjung ke kotanya. Pasti seru.
 
***

Epilog
Penghuni panti lansia Pondok Usia Indah kini semakin ramai. Karena itu yayasan menambah jumlah kamar sebanyak 5 unit. Rupanya cukup banyak yang merekomedasikan tempat ini untuk menghabiskan hari tua.

Siang ini ibu Yani kedatangan beberapa tamu. Sebagian sedang mengurus pendaftaran sebagian lagi menunggu giliran untuk berbincang-bincang dengan ketua pengurus yayasan.
 
Tapi terjadi sedikit kehebohan di beranda. Ibu Patricia 70 tahun, salah satu tamu yang datang diantar putri sulungnya, kedapatan menangis. Tampaknya seseorang telah meneleponnya. Percakapan itulah yang membuat ibu Patricia menangis.
 
"Sudahlah Ma, ngapain juga dengerin orang. Ini kan demi mama sendiri? Mama yang ingin ke sini, kan?" bujuk anaknya.
 
"Iya, tapi mama nggak tahan dengan omongan keluarga besar kita. Tantemu bicara kemana-mana tentang rencana kita tinggal di sini," tutur sang mama sambil terbata-bata.
 
"Ah, memangnya dia tahu apa kesusahan kita? Memang mereka yang kasih kita makan? Memangnya tante Sarah yang membantu kita waktu Mama kesepian di rumah? Sudahlah, 'kan kita sudah bahas ini berkali-kali."
 
"Iya, tapi kenapa mereka bikin gosip segala kalau kalian nggak urus Mama?"
 
"Itu risiko kita Ma, jangan dipikirkan ..."
 
"Tapi Mama jadi kepikiran terus kalau begini. Sekarang tante kalian, besok-besok keluarga kita yang lain yang akan salahkan kalian karana nggak ngurus Mama."
 
Sonya, si puteri sulung hanya bisa membuang nafas demi menyaksikan ketidaktetapan hati mamanya. Mereka sudah pernah membahas soal ini berkal-kali. Tapi si mama juga yang mementahkannya. Namun ia maklum. Orang tua. Siapa tahu iapun akan seperti itu kelak.
 
Lalu mau bagaimana lagi sekarang? Pulang ke rumah dan pamit kepada ibu Yani lagi? Terhitung, ini yang keempat kalinya mereka datang ke Pondok Usia Indah; mulai dari survey tempat sampai dengan menanyakan kemungkinan kalau ia akan menemani ibunya menginap meski tidak setiap hari.
 
Ternyata ibu Yani sudah berada di beranda sejak 15 menit yang lalu. "Bagaimana mbak Sonya? Jadi mau masuk hari ini?" ia sungkan bertanya langsung kepada ibu Patricia yang masih terisak.
 
Yang ditanya diam sejenak. Sonya bimbang, meminta ibunya segera masuk dan mengabaikan saja suara-suara di luar sana atau kembali ke rumah. Atau menunggu waktu yang tepat sampai beliau siap. Meksipun mereka akan melewati siklus yang sama lagi; setelah tiba di rumah ibunya akan lega sejenak, lalu menyesali keputusannya batal tinggal di panti, lalu akan kembali mengeluh karena tidak punya teman, lalu meminta anaknya mempersiapkan pakaian, lalu mereka akan datang lagi ke panti, dan .... peristiwa serupa akan terulang kembali.
 
"Kami pulang dulu saja bu Yani. Kami akan cari waktu yang pas untuk datang ke sini. Jangan bosan-bosan ya bu."
 
"Sama sekali tidak, mbak Sonya. Kami tunggu dengan senang hati."
 
Lalu ibu dan anak itu beranjak sambil menjabat tangan ibu Yani. Keduanya melangkah keluar gerbang. Taxi online sudah menunggu di luar. Mengiringi langkah mereka masuk ke dalam taxi, terdengar celoteh ceria ibu Patricia. Katanya, ia senang bisa memberi makan lagi si Puppy, anjing mereka. (Tamat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun