Lestari mengurungkan niatnya masuk ke ruangan ibu Yani demi dilihatnya siapa yang sedang berada di dalam. Pak Djoko pagi-pagi sudah menghadap pihak yayasan. Ada apa ya? Ia kembali ke ruangannya, tepatnya kantor admin, daerah kekuasaan Astry. “As, ngapain Pak Djoko masuk ruangan ibu Yani?” tanyanya pada Astry.
“Memangnya nggak boleh? Belum tahu ya, Pak Djoko mau pulang ke Jakarta dulu. Katanya mau menjenguk keluarganya.”
Lestari hanya mengangguk. Ia merenung, baru kemarin ia menyaksikan Pak Djoko sudah mau go public, eh sekarang mau pergi lagi. Mengikuti jejak Pak Situmeang dan Pak Sinuraya.
Awalnya ia merasa tidak enak. Apakah Pak Djoko pergi karena merasa tidak nyaman diperhatikan berlebihan olehnya? Salahkah memberi perhatian, lebih tepatnya kepedulian, kepada orang lain? Yang aku beri perhatian bukan hanya satu orang, bukan? protes Lestari. Namun ia ingat bagaimana seriusnya ibu Yani soal sikap yang satu ini. Bahwa tidak semua penghuni asrama suka diperhatikan berlebihan.
“Cuma sebentar mbak,” Astry seakan tahu apa yang dipikirkan Lestari.
Meski tinggal di asrama lansia, sebetulnya seluruh keluarga besar Pak Djoko ada di Jakarta. Ketika istrinya meninggal, Pak Djoko memutuskan tinggal di asrama lansia karena tidak mau merepotkan keluarga besarnya, apalagi kelima anaknya.
Pilihan ini awalnya ditentang oleh banyak pihak, terutama adik-adik perempuannya. Mereka menawarkan agar abangnya tinggal saja bersama mereka. Toh, anak-anak juga sudah besar dan umumnya mereka semua sudah kembali menjadi ‘pasangan tanpa anak’. Tapi yang tidak diketahui orang adalah kalau tinggal dalam satu rumah besar bersama-sama tidaklah mudah. Banyak hal yang harus disesuaikan dan mereka bukan orang muda yang masih bisa berubah. Pak Djoko tidak bisa membayangkan harus beradaptasi lagi. Jadi, ia tetap pada keputusannya.
Rumah pribadinya sengaja ia kosongkan, dan bersama sesama pensiunan lainnya, ia menyewa kamar di asrama lansia di Yogjakarta. Kota ini menjadi pilihan karena keluarga besar istrinya tinggal di sini.
Meski demikian, ia melewati hari tua dengan penuh pergulatan. Ia kini sulit mendapatkan perhatian yang besar dari anak-anaknya. Mereka semua sudah mandiri dan hidup terpisah di kota lain. Lelaki itu sepertinya agak menyesali cara mendidik anak-anaknya yang kelewat mandiri.
Sejak kecil, ia mengajarkan mereka jangan terlalu bergantung pada orang lain, dalam hal apapun. Hasilnya memang terlihat, bahkan kepada orangtuanya pun anak paling besar sampai yang bungsu tidak lagi menunjukkan ketergantungannya. Ia di sini, di tengah para lansia seusianya pun tetap menjadi individu yang tidak ingin bergantung.
Lihatlah, ketika dua sobat diskusinya pergi tidak sedikitpun ia menahan agar keduanya tetap tinggal. Setidaknya meminta agar mereka sesekali berkunjung ke sini, melanjutkan obrolan sana-sini yang sempat terhenti. Begitu juga ketika ada pegawai baik hati yang memberinya perhatian tulus, ia tepis secara halus. Bukankah itu sikap independen? Ya, independen yang berujung pada rasa sepi karena tidak ada pertukaran rasa dengan orang lain.
***
Sarweni pagi ini tampak sibuk memilai-milah pakaian di koper. Tak ia sadari sejak semenit yang lalu Lestari mengamati tingkahnya dari pintu kamar.
“Sibuk mbak?” tanya Lestari.
Yang ditanya sedikit terkejut, lalu menoleh sambil tersenyum. “Enggak terlalu. Ini lagi siapin pakaian.”
“Mau balik?” Lestari bertanya kembali.
Pertanyaan aneh. Gadis muda di hadapannya baru seminggu berada di asrama lansia ini. Kontrak prakteknya dengan yayasan dua bulan.
“Iya, tapi sebentar mbak. Cuma week end saja. Di kampus ada family day, semua mahasiswa wajib ikut.”
“Wah berarti orangtuamu dari Sulawesi datang dong,” tebak Lestari.
“Ah, tidak. Tidak mbak. Ayah ibu saya sibuk mengajar di sana. Saya hanya sendiri. Sudah biasa kok kalau mahasiswa tidak didampingi orangtuanya di acara ini.”
“Oooh, jadi keluargamu tidak ada yang tinggal di kota ini ya?”
Sarweni mengangguk.
Lestari sudah tahu bahwa keluarga besar Sarweni ada di Sulawesi. Sejak kecil diasuh neneknya yang sudah berusia 70 tahun. Bukan tanpa sebab ayah ibunya tidak membawa serta anak semata wayang itu ke tempat tugas.
Selain medan menuju ke tempat mengajar tidak mudah; harus menempuh perjalanan darat berjam-jam, disambung dengan kapal cepat yang jadwalnya hanya sekali seminggu kala itu; juga ada semacam kebiasaan untuk menitipkan anak pada orangtua (nenek). Jadi, kedua orangtua Sarweni akan datang sebulan sekali ke rumah untuk menengok keadaan rumah, yang waktunya hanya beberapa hari saja.
Atas kemurahan Tuhan, sang nenek dikaruniakan umur panjang hingga 80 tahun lebih dan menyaksikan pertumbuhan Sarweni hingga lulus SMA.
Masalah timbul ketika momen kelulusan SMA, Sarweni minta izin untuk ikut camping dan mengisi liburan bersama teman-temannya selama satu minggu. Neneknya memberi izin. Ia mengerti bahwa cucu tersayangnya sudah menjadi gadis dewasa dan akan pergi sementara waktu untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi.
Tetapi lewat dari seminggu, Sarweni belum datang juga.
Sembilan hari …. Sepuluh hari … sebelas hari ….
Cucunya belum muncul-muncul juga. Akhirnya si nenek jatuh sakit karena memikirkan Sarweni. Semakin hari penyakit ibu tua itu semakin parah. Ibu Murniati tetangganya yang memasak dan mencucikan pakaian nenek turut khawatir, manakala kedua orangtua Sarweni belum jadwalnya datang. Apalagi si nenek tidak mau dibawa ke Puskesmas. Untunglah anak lelakinya mau mendatangkan dokter ke rumah si nenek. Dokter merekomendasikan agar si nenek dirawat saja di rumah sakit, tapi ia tidak mau. Ia hanya ingin menunggu cucunya pulang.
Karena sulit membujuk si nenek, akhirnya ibu Murniati bersama beberapa tetangga yang lain, juga atas sepengetahuan Pak RT, bergantian mengurus si nenek. Semakin hari kesehatannya semakin menurun. Tepat di hari ke-12 kepergian cucunya, akhirnya nenek Sarweni berpulang. Pak RT dan para tetangga dekatlah yang mengurus segala sesuatunya termasuk mengirim orang untuk menjemput kedua orangtua Sarweni. Pada masa itu, jaringan ponsel masih belum merambah semua wilayah, sehingga kadang-kadang komunikasi dilakukan melalui kunjungan.
Dua hari usai kematian sang nenek menjadi hari paling sibuk dan menguras emosi bagi keluarga itu. Sarweni akhirnya muncul sehari setelah neneknya meninggal dengan penyesalan yang mendalam. Rasa bersalahnya tidak berkurang meski ayah dan ibunya tidak pernah menuduh ia lalai. Mereka malah menguatkan hatinya agar tabah dan menerima takdir dari Allah. Nenek memang sudah waktunya berpulang. Usianya sudah sangat lanjut.
Tetapi bukan itu yang disesalkan Sarweni. Ia menyesal karena ingkar janji pada neneknya untuk pulang tepat waktu. Ia terlalu asyik menghabiskan waktu bersama teman-temannya, menikmati dunia baru di luar rumahnya. Kalau saja ia tidak digempur firasat buruk saat asyik berenang di laut, mungkin ia akan meneruskan liburannya sampai puas.
Tapi kini orang yang telah merawatnya sejak kecil sudah pergi. Ia seperti merasa tidak punya orangtua lagi. Namun ada kabar baik.